Rasanya pertemuan mingguan kali ini berjalan sangat lambat. Mungkin sudah lebih dari empat kali aku melirik jam tangan perak di pergelangan tanganku dan sudah sejak tadi aku duduk gelisah di atas kursi ini. Keringat dingin mulai mengalir di belakang leherku, ketika kurasakan pertemuan sudah hampir mencapai akhir. Pria yang duduk tepat di hadapanku akhirnya menutup pertemuan hari ini dengan senyum khasnya. Seluruh peserta mengucapkan selamat sore dan berdiri untuk kemudian seperti berbaris meninggalkan ruangan pertemuan. Aku tidak beranjak dari dudukku sampai tersisa kami berdua di dalam ruangan itu.
“ Pak, boleh saya minta waktunya sebentar ?” tanyaku sambil berdiri. Dia mengiyakan permintaanku, memberikan isyarat padaku untuk kembali duduk di tempatku.
“ Ada yang bisa saya bantu ?” tanyanya dengan senyum di wajahnya. Bagaimana bisa aku melakukan ini kepada seorang pimpinan yang selama ini selalu mendukung kinerjaku. Mendadak terasa ada yang mengganjal di tenggorokanku. Aku mencoba menelan ludah beberapa kali untuk menghilangkan ganjalan itu. Setelah menarik nafas panjang akhirnya keluar juga kalimat itu.
“ Pak, mohon maaf, mungkin ini waktunya tidak tepat, tapi tidak pernah akan ada waktu yang tepat untuk hal yang satu ini. Saya bermaksud untuk mengundurkan diri dari perusahaan.”
Ulasan senyum di wajahnya mendadak lenyap, raut di hadapanku seketika terlihat memucat. Aku tidak berani menatap matanya, menunduk memandang agenda di hadapanku yang menyimpan sepucuk surat pengunduran diri yang sudah aku persiapkan sejak satu bulan yang lalu.
Setelah kemarin, rasanya kehidupan kantor menjadi tidak seindah biasanya. Kalau kamu pernah merasakan patah hati, seperti itulah rasanya. Aku juga tidak menyangka kalau akibatnya akan separah ini. Seperti mendadak ada yang direnggut dari kehidupanku. Padahal keputusanku ini bukan keputusan yang kuambil dalam satu malam saja. Ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan sejak enam bulan yang lalu bahkan mungkin sudah muncul di kepalaku sejak tiga tahun yang lalu. Namun aku berusaha mengindahkan perasaan itu, meskipun langkah kakiku menuju kantor menjadi tidak seringan biasanya. Aku sadar bahawa harus bertahan dengan kondisi ini sampai dengan tiga bulan ke depan. Akhirnya aku bertekad, daripada menganggap tiga bulan ini sebagai akhir dunia, lebih baik bila aku menjadikan tiga bulan terakhir ini sebagai suatu kenangan indah yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Akupun mulai merubah pola berpikirku. Setiap pagi aku memulai hari dengan memilih baju yang paling aku sukai. Aku bahkan mengenakan baju-baju yang biasanya hanya kukenakan di waktu-waktu spesial. Aku mulai mengulaskan sedikit riasan di wajahku. Aku menikmati kopi hitamku di kedai kopi favoritku setiap pagi dan melewatkan setiap jam makan siang dengan teman-teman kantorku. Aku merubah pola kerjaku, lebih berusaha bekerja sama dengan rekan kerja dari departemen lain yang biasanya menjadi lawan debatku. Layaknya seperti orang yang mengetahui tanggal kematiannya, aku mempersiapkan diriku untuk dikenang sebagai orang yang baik pada saat aku sudah meninggalkan tempat ini.
Tanpa terasa akhirnya sampailah aku di hari terakhir aku bekerja di perusahaan ini. Rasanya aku ingin menikmati setiap detiknya. Entah berapa kali air mata membasahi pipiku. Semua teman-teman mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Akhirnya aku harus menerima pengunduran diriku sendiri dengan besar hati. Mungkin begini rasanya menjadi seorang pemimpin yang harus memberikan tongkat kepemimpinannya kepada penerusnya. Aku berusaha menghilangkan kecemasan tentang apa yang akan terjadi nanti setelah aku pergi. Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa inilah akhir dari perjalanan karirku di kantor ini. Aku mengusap meja kerjaku untuk terakhir kalinya, duduk berputar-putar di kursi seperti yang biasa kulakukan bila aku sedang mendapat masalah. Melemparkan pandangan ke luar jendela, melihat lampu kedai kopi yang masih menyala di bawah sana serta menikmati lampu mobil yang berbaris rapi di sepanjang jalan Jenderal Sudirman. Sudah tiba saatnya.
Satu bulan selanjutnya kulewati dengan rasa yang masih berada di antara mimpi dan kenyataan. Aku masih berusaha meyakinkan diri ini kalau ini adalah selamanya dan bukan sementara. Bahwa ini adalah sebuah awal yang baru, suatu permulaan untuk identitas baruku tanpa ada embel-embel korporasi yang sudah melekat padaku bertahun-tahun lamanya. Ternyata kecemasan itu tidak ada artinya, kelihatannya kantor berjalan seperti biasanya meskipun aku sudah tidak ada di sana. Aku harus bisa menerima bahwa tempatku sekarang adalah di rumah ini. Antara kamar tidur, dapur dan meja kerjaku. Tidak ada lagi kehidupan rumah dan kantor yang perlu diselaraskan lagi untuk saat ini. Seperti individu yang dilahirkan kembali, aku harus siap memulai semuanya dari nol lagi. Aku harus mencari identitas yang nantinya akan melekat pada diriku. Inilah waktunya untuk aku bisa menerima siapa sebenarnya aku. Untuk aku lebih mengenal keluargaku dengan lebih baik dan mengetahui siapa yang sebenarnya teman yang tetap tinggal setelah aku tidak memiliki jabatan sebagai aksesoris identitasku. Bukan hanya mendadak menjadi diri sendiri tapi juga aku mendadak menjadi sendirian. Meskipun terasa sepi tapi harus aku nikmati, karena sekarang waktunya untuk aktualisasi diri yang sejati.
Hidup itu seperti roda yang berputar, posisi, jabatan, dan kekuasaan semuanya hanya bersifat sementara saja, Menjadi individu yang dikenang karena hal-hal baik akan menjadi lebih kekal dibandingkan dipandang karena posisi dan jabatan yang pernah dipegang.
(Tulisan ini dibuat untuk tugas pelatihan menulis Komunitas Salihara - May 2020)
Kebayang muka nya si bapak..
ReplyDelete