Featured post

Thursday, 22 July 2021

The Good Doctor #nulisbarengdhidie

 Karena udah lama ga ikut belajar nulis, akhirnya nyobain kelas gratisan via WA. Kok bisa ? Iya, karena gue penasaran juga gimana caranya bisa ada kelas nulis tapi via WA, dan ternyata... Yah cukup okelah... Untuk Challenge-nya, kita disuruh bikin tulisan maksimal 500 kata dengan setting rumah sakit dan temanya niat jahat... Tadinya mau skip aja males ngumpulin karena rasanya lagi ga ada ide dan ga pengen nulis aja, tapi akhirnya setelah konsenterasi, jadi juga mini cerpen dalam 15 menit yang mengalir gitu aja. Kebayakan nonton Drakor gue kayanya....


Silakan disimak....


Aku melangkah masuk ke ruang operasi. Seorang perawat dengan sigapnya memakaikan jas operasi ke tubuhku dan mengikatkannya. Mirip seorang chef yang bersiap untuk memasak menu makan siang di restoran. 


“Selamat siang, nama saya Dokter Dina, saya akan memimpin operasi hari ini.” Semua perawat dan dokter anestesi menganggukan kepalanya. Sebuah tubuh terbaring di atas meja operasi, tertutup kain, hanya kepalanya yang tidak terlindungi. Dalam kondisi pucat setelah dibiuspun, wajah itu masih sama cantiknya. Meskipun sekarang ada beberapa kerut yang terlihat nyata di dahi dan sisi kedua matanya, namun sisa kecantikannya masih lebih mendominasi wajahnya. 


Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Duduk di atas kursi operasi bersiap memulai operasi siang ini. Bersiap melakukan operasi pada sosok wanita di hadapanku. Wanita yang dulu membuat Ayah meninggalkan Ibu dan aku. 


“Scalpel?” Kataku sambil mengulurkan tanganku ke atas. Seorang perawat dengan sigap menyerahkan alat itu ke tanganku. 


Aku melihat dari kaca pembesar di hadapanku, adanya darah yang membeku di otaknya yang menjadi alasan dia dilarikan ke rumah sakit oleh anaknya ke tempatku bertugas karena mendadak terjatuh di kamar mandi. 


“Dokter Dina, tolong Mama saya yah?” Kata lelaki muda itu yang khusus menemuiku beberapa jam sebelum operasi dimulai. Aku hanya menganggukan kepalaku sambil tersenyum. Dia mirip sekali dengan Ayah ketika terakhir kali aku bertemu dengannya. Memang aku masih berumur sembilan tahun saat itu, tapi aku sudah mengerti pertengkaran berhari-hari antara Ayah dan Ibu yang terdengar sampai ke kamarku. Sampai akhirnya di suatu malam pintu depan berdebam keras dan Ibu menangis tersedu di depan pintu. Sejak malam itu aku tidak pernah melihat Ayah lagi secara langsung.  


Aku tahu kalau Ayah akhirnya menikah dengan Tante Dewi dan memiliki seorang anak laki-laki. Mereka bertiga hidup bahagia di sebuah rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan. Aku tahu kalau Ayah sebenarnya sudah berhubungan dengan Tante Dewi selama lima tahun sebelum Ayah akhirnya benar-benar meninggalkan aku dan Ibu. Aku tahu Ibu sangat sedih sepeninggal Ayah hingga akhirnya jatuh sakit dan kemudian tidak pernah kembali sehat sampai akhirnya pergi meninggalkanku juga. Perjalananku menjadi dokter bedah ini, sungguh perjalanan panjang yang akhirnya bisa kuwujudkan dengan menjual satu-satunya harta peninggalan Ibu, rumah Keluarga kami. 


“Dokter, kondisi pasien semakin menurun,” seru seorang perawat. Jeritan monitor-monitor di dalam ruang operasi terdengar bersahut-sahutan. Aku menghentikan gerakanku, sungguh mudah bagiku untuk menjadikan ini sebagai kecelakaan di meja operasi dengan alasan kondisi pasien yang sangat buruk. Alasan yang bisa diterima semua orang. Aku ingin lelaki muda tadi juga merasakan penderitaan yang sama seperti yang dulu kualami, kehilangan orang yang dicintai. 


“Dokter Dina,” panggil seorang perawat dengan wajah panik. Aku kembali ke dalam kesadaranku, naluri sebagai dokter menyadarkanku di saat yang tepat. Aku berusaha fokus kepada apa yang kulakukan, hingga akhirnya monitor-monitor seperti terkendali dan tenang kembali. 


Hari ini, aku, Dokter Dina, berhasil menyelamatkan nyawa seorang wanita yang telah merebut Ayah dari Aku dan Ibu. 



Cheers, Dhidie

No comments:

Post a Comment