Satu bulan yang lalu.
Ketika aplikasi Whatsapp menjadi saksi percakapan dan sumber berita yang paling ditunggu. Ketika otak tidak bisa berpikir jernih karena dipenuhi oleh kecemasan dan kekhawatiran. Ketika hati sibuk melakukan penolakan dan menyebutkan mantra bahawa semuanya akan baik-baik saja. Ketika ruang cuci menjadi saksi keikhlasan apapun yang terbaik harus terjadi, terjadilah. Ketika dapur menjadi tempat terakhir untuk membuat keputusan, Okay, kita harus ke Bandung sekarang. Ketika perjalanan Jakarta Bandung menjadi terasa lebih panjang dari biasanya. Ketika dering ponsel sepanjang perjalanan menjadi begitu menakutkan. Ketika tangis meledak berkali, kemudian diam, kemudian menangis lagi sepanjang perjalanan. Ketika zikir dan doa tidak henti-hentinya dilafalkan berdampingan dengan deru ban mobil yang melaju dengan kencang.
Ketika akhirnya takdir yang harus dihadapi di depan mata, kenyataan yang berbicara bahwa Papa sudah tidak ada.
Pa, bagaimana Didi bergegas di lorong rumah sakit itu dengan pikiran kosong. Dengan satu tujuan bahwa Didi harus lihat Papa. Dengan sedikit asa yang Didi tahu tidak mungkin, bahwa setidaknya Didi masih bisa bertemu Papa.
Pa, tahu gak rasanya, ketika Didi menemukan wajah Papa sudah tidak bisa dilihat lagi. Didi marah sama Papa. Kenapa sih Papa gak nunggu Didi, Didi marah karena sekarang Didi udah gak bisa lagi peluk Papa, karena air mata Didi cuma akan memberatkan Papa. Didi cuma lihat Papa dari jauh, Didi gak mau mendekat karena Didi masih marah kenapa Papa harus pergi.
Pa, Didi mulai bisa menerima ada alasan kenapa Allah gak izinkan Didi untuk menemani Papa di saat2 terakhir, ada alasan kenapa google map bikin kita tersesat di perjalanan menuju pemakaman. Mungkin Allah pengen kenangan terahir Papa dengan Didi adalah ketika Papa ke Jakarta di hari ulang tahun Didi tiga minggu sebelum Papa pergi. Ketika Papa tiba-tiba terlihat sehat dan ceria di perjalanan ke Jakarta Papa setelah dua tahun tidak pernah ke Jakarta. Ketika Papa dengan terpaksa menuruti keinginan kita untuk foto-foto di hotel, tapi ternyata hasilnya senyum Papa yang paling sumringah di foto itu.
Ma kasih yah, Pa. Di tulisan ini Didi gak perlu cerita betapa baik dan tegasnya Papa dalam memimpin keluarga. Karena semua orang yang datang melayat dan mendoakan dan kehilangan Papa sudah tahu tentang hal itu.
Sekarang Didi cuma lagi belajar bagaimana untuk tidak berharap disambut di pintu rumah Bandung ketika datang sambil mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan Papa, "Jam berapa dari Jakarta?" Didi lagi belajar bagaimana merawat tanaman yang hampir semuanya Didi ambil dari taman Papa :) Didi lagi belajar untuk memulai baking lagi tanpa rasa menyesal karena tidak pernah belajar membuat kue yang bisa Papa makan. Didi juga sedang belajar bagaimana tetap bisa membuat bangga Papa tanpa tahu bagaimana cata menunjukkannya nanti kepada Papa.
Bye, Pa. Miss you....
No comments:
Post a Comment