Featured post

Monday 30 November 2020

#bahasdrakor Start Up? Choosing Between Past and Future

Mari kita membahas sesuatu yang receh Hari Ini.



Start Up adalah drakor kesekian yang gue tonton di masa karantina ini. Cara gue menentukan suatu drakor bagus atau enggak, yah coba aja Nonton episode pertamanya, kalau ternyata gue penasaran dan pengen lanjut ke episode kedua, berarti gue bakal suka sama overall drama ini. Tapi bisa aja kalau misalnya ada ngereferensi-in drakor dan gue ga suka episode pertamanya, gue akan bertahan coba eposide keduanya, kalau ga works juga, ya udah tinggalin aja, mungkin drama itu bukan untuk gue. Hahaha.. penting banget ini topiknya.

Apa yang menarik dari Start Up. Pertama, karena dia membahas tentang topik yang lagi happening dan relate ke generasi angkatan kerja sekarang. Ketika generasi sekarang dengan bangga bilang, " Gue kerja di perusahaan Start Up." Kemudian teman-teman yang kaya ngeliat dia dengan tatapan," How lucky you are.." Drakor ini benar-benar menggambarkan kondisi seperti itu. Kayanya kerja di satu perusahaan atau membuat suatu perusahaan "start up" itu menjadi impian para fresh grade. Apapun nama perusahaannya, berapapun gajinya dimana pun lokasinya, kata "start up" seperti impian angkatan kerja baru. Dan "Start Up" berhasil mewakili impian itu. Dengan suasana kantor yang "Google" dan "Silicon Valley" banget, pakaian yang casual, fasilitas kantor yang mewah dan lengkap, belum lagi outdoor yang kayanya seru aja bisa kerja sambil santai-santai di taman, bikin mata kita dimanjakan sama background yang keren2 sepanjang drama.

Kedua, apa yah? Bae Suzy. Gue suka banget sama dia sejak di Uncontrollable Fond, terus while you're sleeping. Actingnya menurut gue sih selalu oke, dan punya karakter. Di sini dia berperan sebagai, Seo Dal Mi, seorang gadis pekerja keras namun seperti selalu dalam situasi yang tidak menguntungkan. Tapi seperti quotes yang akhir2 nampak sangat popular," kerja keras tidak akan mengkhianati hasil" nampaknya dia akan berakhir demikian. 

Ketiga, konflik percintaan yang sederhana namun tampak rumit bagi orang yang mengalaminya. Ketika seorang gadis harus memilih di antara dua pria yang menaruh hati padanya. Kombinasi karakter dua pria yang pada awalnya merupakan satu orang di pikiran sang gadis. Satu orang dari masa lalu dan satu orang dari masa sekarang yang bersjamaan muncul dan membuat semuanya jadi membingungkan. Nam Do San dan Han Ji Pyeong, yang akhirnya memunculkan dua team di kehidupan nyata. Team Ji Pyeong dan Team Do San, bahkan sampai ada hashtag #kawaljipyeong di twitter :)

Ji Pyeong merupakan orang dari masa lalu Dal Mi yang mengisi khayalan sama kecilnya melalui surat2 yang diselipkan di sebuah kandang burung yang terletak di pohon di depan warung neneknya. Sedangkan Do San, adalah seorang programmer, pemenang Olimpiade Matematika, yang semula diminta untuk berpura2 menjadi Ji Pyeong di depan Dal Mi, namun berujung benar2 jatuh cinta kepadanya. Kenyataan bahwa sosok yang selama ini tertanam di benak Dal Mi adalah dua orang yang berbeda adalah suatu konflik yang dimunculkan secara menarik. 

Gue pun sempat berdebat dengan teman gue sesama penggemar drakor. Ketika dia bertanya," Lo team siapa?" Gue langsung bilang, gue team Do San. Kenapa? Menurut gue setidaknya Do San lebih berani dalam mengungkapkan perasaannya dibanding Ji Pyeong yang awalnya bersembunyi dan tidak mau mengakui bahwa dia yang selama ini menuliskan surat kupada Dal Mi. Lalu gue di-challenge lagi," Tapi kan Ji Pyeong lebih mapan, lebih merupakan pilihan yang realistis buat seorang wanita." Tetap gue bertahan, Do San tetap sesuatu real menurut gue yang hadir di kehidupan saat ini dan dengan terbuka melakukan sesuatu yang jelas untuk menunjukkan rasa cintanya kepada Dal Mi. Sometimes what you feel is more important than what you are. Itu menurut gue, dan gue belum tahu drama ini akan berakhir gimana. Karena siapapun yang dipilih Dal Mi, yang pasti jalan ceritanya sudah cukup menghibur buat gue.

Kalau kamu, team siapa ?


Cheers, Dhidie

Thursday 26 November 2020

Ikutan Kelas Online di Masa Pandemi ?



Belajar di masa pandemi?
Mungkin gue adalah salah satu orang yang bersyukur dengan kondisi harus di rumah aja. Terus terang, gue sebenernya bukan orang yang easy going. Gue perlu waktu untuk beradaptasi dengan suatu lingkungan baru. Gue ga terlalu mudah untuk membuat teman baru, tapi sekali sudah menemukan yang klik, gue akan total :) Sebenarnya gue kangen dari normal yang dulu itu apa? Gue gak kangen ke mal. Gue kangen pergi ke kafe sendirian untuk kemudian tenggelam dengan laptop gue. Gue kangen mencoba kafe baru, menikmati suasana kafe dan kemudian mengabadikannya di account instagram gue. 

Ketika terpaksa harus di rumah aja, selain kelas yoga regular gue via zoom dan Pelajaran memasak di Youtube, gue akhirnya mulai mendaftarkan diri untuk mengikuti beberapa kelas online. Apa keuntungannya ikut kelas online ini, tentu saja yang terpenting adalah hemat biaya transportasi dan waktu tempuh menuju tempat belajar. Tidak perlu pake make-up dan berdandan. Cukup lipstick seperlunya, itupun kalau terpaksa harus menyalakan video di awal-awal pelajaran, setelah itu, bablas. Kapan lagi belajar sambil dasteran? Mungkin yang terasa hilang di kelas online ini adalah spontanitas dari interaksi dan kebersamaan dalam menuntut ilmu. Meskipun akhirnya bisa didapat juga dari masing-masing group WA yang dibentuk. Tapi tetap saja, masih lebih baik reality dibanding virtual... :) Tentu saja karena semua bersifat virtual yang terpenting dari kelas-kelas online ini adalah komitmen. Komitmen untuk hadir dan komitmen untuk mengerjakan seluruh tugas yang diberikan. 

Kelas pertama yang gue ikuti tentu saja kelas menulis. Sudah lama sekali gue pengen join kelas menulisnya komunitas Salihara dari penulis Ayu Utami. Secara ga sengaja, melalui salah satu iklan di instagram gue tahu kalau mereka sedang membuka kelas online mengenai teknik penulisan berbobot. Tanpa berpikir panjang, gue langsung mendaftarkan diri. Kelas diadakan setiap hari Sabtu selama dua jam selama satu bulan. Range umur peserta kelas benar-benar bervariasi. Kelas berlangsung cukup interaktif dan banyak ilmu penulisan yang gue dapat. Kita juga harus menyelesaikan beberapa tugas yang kemudian akan dinilai dan diberikan komentar oleh Ayu Utami sebagai pengajar. Waktu itu ada sekitar 25 orang dalam satu kelas. Rasanya senang berada di kelas bersama dengan orang-orang yang tertarik untuk belajar hal yang sama. Platform yang digunakan waktu itu sempat berganti-ganti dari Blue Jeans, kemudian zoom sampai akhirnya menggunakan google meet.

Selanjutnya gue sempat mengikuti kelas fotografi yang diadakan oleh komunitas instagram motokuyjek. Kelas berlangsung satu minggu melalui WhatsApp group. Semua peserta harus lulus kelas basic dulu sebelum kemudian naik tingkat untuk bisa mengikuti kelas-kelas lanjutan lainnya. Ada sekitar 30 orang di satu kelas, setiap hari ada tugas yang diberikan dan harus disetor paling lambat keesokan harinya. Kelasnya cukup menyenangkan sekaligus menegangkan, karena adanya deadline pengumpulan tugas dan tugas yang diberikan semakin menantang setiap harinya. Rasanya lega banget setiap kali bisa menyelesaikan satu tugas. Dan tidak harus mengulang! Yang menarik di sini adalah para pengajar benar-benar membimbing secara interaktif sehingga percakapan yang terjadi hampir terasa tidak virtual lagi. 

Kelas ketiga yang gue ikuti adalah kelas Sertikasi Financial Planner, ini kelas yang paling serius dari kedua kelas yang gue ikuti sebelumnya. Kelas ini diadakan oleh MMFEBUGM dan merupakan satu-satunya kelas CFP online yang diadakan di masa Covid ini. Lamanya kelas sekitar 4 bulan. Kelas terbagi menjadi empat modul, diadakan setiap hari Sabtu jam 8 hingga jam 12 siang. Materi yang dipelajari adalah basic financial, insurance dan risk, investment, tax dan estate planning. Kelasnya benar-benar seru karena pengajarnya selain dosen pengajar di UGM juga para praktisi di industri keuangan. Dan gue bersyukur bisa ikut kelas ini. Meskipun setiap kali mau ujian modul gue benar2 harus nge-blok waktu gue cuma untuk belajar, belum lagi ada tugas paper dan presentasi dan terakhir sertifikasi yang diadakan oleh asosiasi yang diadakan dua hari berturut-turut. Hasilnya memang belum diumumkan, cuma gue berharap bisa lulus langsung tanpa harus mengulang. 
Yang menyenangkan dari kelas ini adalah di satu kelas kita berasal dari background yang berbeda-beda, dan ternyata feel ikut kelas online itu sebenarnya sama aja kaya kuliah biasa. Cuma mungkin yang kurang adalah gak ada acara ngopi bareng temen setelah pulang kuliah...
Itu aja sih....

Untuk selanjutnya gue sudah memutuskan untuk ikut kelas baking, tapi mungkin nunggu pandeminya berakhir aja. Biar bisa ikut kelas offline aja. Biar bisa ngopi2 selesai kelas :)

Cheers, Dhidie


Monday 26 October 2020

Kerja di Rumah dan Kerja di Kantor, Ga ada bedanya?

 Ini bukan tentang semua orang terpaksa harus kerja dari rumah di masa pandemi ini. Ini tentang bagaimana setiap individu akan melakukan hal yang sama dimanapun kalian berada. Karena kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk mungkin belasan atau puluhan tahun tidak akan hilang dalam beberapa bulan saja. Once you're a workaholic then you will be a workaholic forever unless you have a will to change.




Pengalaman resign mendadak di rumah di saat kondisi otak dan tubuh sedang dalam puncak-puncaknya membuat gue sempat merasa tidak sehat. Bukan sakit serius atau bagaimana, tapi kelihatannya otak yang sehari-harinya terbiasa untuk digunakan dengan kapasitas maksimal yang hanya diistirahatkan mungkin di saat tidur saja mendadak berkurang pekerjaannya. 

Apa akibatnya? Gue tetap tidak bisa berhenti berpikir, membuat gue ingin terus melakukan sesuatu. Dan itupun ternyata tidak bisa menghabiskan 24 jam waktu yang gue punya dalam sehari. Rasanya putus asa, ketika banyak yang mau lo lakukan tapi ternyata lo punya keterbatasan karena lo harus belajar lagi semuanya dari awal. Akibatnya lagi? Otak kembali tidak berhenti berpikir.  Akhirnya apa yang gue lakukan ? Tentu saja selain melakukan daily job sebagai ibu rumah tangga yang Jangan ditanya apa saja, gue berusaha untuk menambah kegiatan gue. Dengan hal yang tidak memerlukan terlalu banyak berpikir. Gue berhasil menyelesaikan satu bingkai sulaman besar yang lumayan rumit karena ternyata sulaman zaman sekarang menggunakan banyak teknik berbeda dengan sulaman di zaman gue SD dulu. Kegiatan yang akhirnya dapat menghentikan otak gue sejenak dan lebih fokus pada keterampilan tangan. Tapi tentu saja gue tidak melakukannya dalam hening, biasanya gue menyulam sambil mendengarkan podcast, sehingga di akhir kegiatan itu biasanya gue antara mendapat pengetahuan baru, atau mendapat gosip artis terbaru :)

Setelah sulaman tersebut selesai, gue kembali bingung. Karena terus terang, menyulam merupakan waktu istirahat atau "me time" gue sebagai ibu rumah tangga. Karena di sana ada seni tapi juga ada target yang harus dicapai, ada juga strategi menentukan bidang mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk mempermudah gue mencapai tujuan akhir, dan bagaimana supaya benang sulam yang terbatas bisa cukup sampai akhirnya sulaman tersebut terwujud. Gue kemudian rajin melihat video memasak di Youtube. Dari dulu sebenarnya acara favorit gue di TV yah cooking show, karena mungkin dasarnya gue suka makan, jadi gue senang aja melihat bagaimana makanan favorit gue diproses sampai akhirnya tersaji di piring. Mungkin karena zaman dulu kurang hiburan juga, gue hampir tidak pernah melewatkan acara masak Aroma di Indosiar. 

Cuma bedanya kali ini gue lebih suka melihat video-video memasak dari vlogger2 Korea. Karena videonya begitu relaxing dan aesthetic, hanya music, subtitle tanpa voice over. Dan gue mulai penasaran untuk mencoba beberapa resep, mumpung semua orang ada di rumah dan memang membutuhkan camilan di waktu2 istirahat. Satu dua resep selalu gue posting di IG Story, sampai akhirnya ada beberapa pesanan dan sekarang sudah hampir genap tiga bulan gue menjadi pekerja kuliner yang memenuhi pesanan teman2 bahkan beberapa orang yang tidak gue kenal via instagram.

Tapi bukan itu yang akan gue bahas di sini. Yang akan gue bahas adalah gue kembali menjadi orang yang seperti tidak bisa berhenti bekerja. Gue bangun jam tiga pagi untuk membuat pesanan dan baru berhenti jam dua siang. Dan lebih parahnya kalau tidak ada pesanan gue akan mencoba resep-resep baru. Kalau sedang tidak memasak gue akan menonton video memasak. Otak seperti kembali bekerja tanpa henti. Dan lebih parah lagi, tidak ada hari libur karena weekend biasanya justru menjadi waktu puncaknya pesanan harus diselesaikan. Gue bahkan mulai jarang memasak untuk keluarga karena gue sudah terlalu lelah untuk mengolah bahan makanan lagi, gue juga sempat kena maag karena hampir tiap hari melewatkan sarapan dan baru makan siang di sore hari. Dan itu terjadi selama tujuh hari dalam satu minggu. Gue bahkan mulai merasa terganggu ketika ada interupsi-interupsi yang menganggu keasikan gue menyelesaikan pesanan. Gue bahkan tidak mempunyai waktu untuk mengobrol bersama anak-anak seperti yang biasanya gue lakukan di awal-awal gue di rumah. 

Sampai ketika gue mulai merasa stress gue akhirnya berpikir kalau apa yang gue lakukan saat itu tidak menjadikan gue sebagai ibu yang lebih baik dari di saat gue bekerja di kantor kemarin. Apa bedanya kalau hanya fisik gue yang ada tapi tidak memperhatikan orang-orang tercinta yang ada di sekitar gue? Akhirnya, gue mengevaluasi kembali apa yang gue lakukan, seharusnya gue bersyukur dengan gue bisa tetap bekerja di rumah dan melakukan hal yang gue sukai. Gue pun memutuskan untuk membatasi pesanan hanya di hari kerja saja. Ada beberapa pesanan yang masih gue selesaikan di hari Sabtu/Minggu tapi hanya untuk beberapa teman saja atau keluarga saja. Gue juga kembali selalu menyempatkan diri untuk memasak untuk keluarga, minimal untuk sarapan. 

Tiga bulan ini banyak Pelajaran yang gue ambil dari memulai kegiatan baru ini. Meskipun gue tetap berprinsip tidak baik menolak rezeki setidaknya gue sekarang mulai mengatur pesanan agar tidak menumpuk di satu hari dan sebisa mungkin menghindari pesanan di waktu weekend. I'm still learning to start this business and so far I think I'm in love with it!


Cheers, Dhidie


Wednesday 23 September 2020

Finally My Trilogy - My Life After I Quit (Part 5)

 Waktu sebelum resign ada beberapa yang bertanya, mau ngapain sih resign? Mau jadi penulis penuh waktu yah? Gue waktu itu cuma ketawa aja. Yah, mungkin di antaranya itu. Gue masih ngerasa punya TO DO LIST yang belum tercentang kotaknya sejak akhir tahun 2016. Disamping berjuta kepenasaran gue yang lainnya. Setelah tepat setahun Love's Labyrinth pertama release di akhir tahun 2015 gue kaya punya utang sama diri sendiri. 

Akhirnya trilogi pertama gue tercetak sudah.... 





Trilogi adalah kesatuan gagasan atau pokok pikiran yang dituangkan dalam tiga bagian yang saling terhubung. Dalam ranah kesusastraan, istilah ini memiliki arti seri karya yg terdiri atas tiga satuan yg saling berhubungan dan mengembangkan satu tema.

Sebenarnya sebelum memutuskan untuk menulis sebuah trilogi, gue sempat menulis dua novel yang hanya tersimpan di laptop gue. Waktu itu, setelah merasa cukup dengan Love's Labyrinth, gue merasa harus mulai sesuatu yang lain, yang lebih fresh buat otak gue, dengan gaya penulisan yang berbeda juga. Gue memang suka mencoba hal yang ga itu2 aja :)  
Novel gue itu, The Thirty Project dan Cinta Tiga Hari ( saat menulis ini gue baru sadar kalau semuanya mengandung angka tiga), akhirnya gue publikasikan di platform menulis Storial.co. Jadi, kalau waktu itu ada bertanya kapan buku kedua sebenarnya ada, tapi gue masih ragu apakah gue mau mencetaknya atau tidak.

Setelah menimbang, akhirnya gue malah memutuskan untuk melanjutkan menulis tokoh Shinta. Karena rasanya gue masih sayang banget sama tokoh ini, masih banyak yang pengin gue eksplore dari si tokoh novel Love's Labyrinth pertama ini. Akhirnya gue memikirkan bagaimana caranya supaya gue tetap bisa mengeksplorasi lebih dalam kehidupan tokoh ini.

Idenya sebenarnya dari film-film superhero Marvel atau DC, dimana setelah satu film dirilis sampai beberapa jilid tiba-tiba bisa muncul satu film yang bercerita tentang awal mula sang superhero. Dan semuanya terasa mengalir saja, penonton pun tidak peduli ketika diajak menyaksikan awal mula kisah superhero pada hal sebelumnya sudah diajak menyaksikan petualangan si superhero. 

Berdasarkan hal tersebut gue memutuskan untuk menulis trilogi Love's Labyrinth yang akan bercerita mengenai masa lalu tokoh di buku kedua, dan masa kini tokoh di buku ketiga, tanpa mengusik cerita di buku pertama yang sudah baku karena gue mengambil latar belakang tahun yang spesifik dimana sebuah peristiwa besar menimpa sebuah  negara. 

Sebenarnya pada saat rilis ulang Love's Labyrinth pertama gue sudah membuat satu novelet yang menjadi bagian novel pertama yaitu The Gentlement Stories yaitu cerita Love's Labyrinth dari POV cowok-cowok yang terlibat di dalam kehidupan tokoh utama. Waktu itu gue tulis dengan gaya penulisan maju mundur, sebenarnya sebagai bonus kepada pembaca yang sudah membeli LL versi pertama yang dicetak melalui jasa printing on demand tapi masih ingin membeli LL 1 yang waktu itu dirilis ulang dengan persiapan yang jauh lebih matang. 

Pada pertengahan tahun 2017 sebenarnya penulisan LL2 sudah selesai. Cerita yang berlatar belakang masa kuliah Shinta ini sebenarnya ditulis sebagai nostalgia akhir masa SMA dan awal-awal masa kuliah terutama untuk pembaca yang pernah merasakan nyamannya menjalani masa kuliah di Bandung. Selain itu berkesimpulan dari penulisan LL yang pertama, banyak yang bertanya apakah buku ini pantas dibaca oleh anak-anaknya yang beranjak remaja? Waktu itu dengan berat hati gue harus berkata tidak, karena memang topik maupun konflik novel gue bukan untuk dikonsumsi remaja. LL2 ini semacam persembahan gue buat anak-anak teman gue yang sekarang sudah beranjak dewasa. 

Gimana tentang LL3? Nah ini yang paling menarik. Novel yang sebenarnya sudah hampir rampung di awal 2018 tapi susah banget buat diselesaikan. Ini adalah lanjutan dari LL1, jadi di novel ini gue seperti asik sendiri untuk mengeksplorasi tokoh Shinta dengan lebih dalam. Apa sebenarnya yang bikin susah untuk diselesaikan? Karena gue sudah terlalu jatuh cinta dengan tokoh ini. Gue bener-bener pengen menulis semua konflik yang mungkin dihadapi Shinta dalam kehidupannya saat ini. Tapi gue juga pengen menyisipkan mimpi-mimpi di dalamnya untuk memotivasi orang-orang seperti Shinta yang mungkin ada di luar sana. 

Udah penasaran belum? Hehehe...
beli dong bukunya...

Rencana awal, trilogi ini mau gue cetak sendiri seperti LL versi revisi. Tapi takdir berkata lain, mendadak ada kondisi pandemi yang membuat gue tidak mungkin wara wiri ke percetakan untuk mengurusi penerbitan ketiga novel ini. Akhirnya gue kembali ke jasa printing on demand, dengan kondisi novel yang sudah diedit dan siap naik cetak. Perlu dua minggu untuk pemesanan yang membuat waktu kembali mulur sampai hasil proof read akhirnya keluar sesuai dengan yang gue inginkan. Dan akhirnya, trilogi gue tercetak sudah. 

Mungkin ini akan menjadi trilogi gue yang pertama dan terakhir, meskipun JK Rowling akhirnya membuat Harry Potter menjadi menjadi tujuh buku. Tapi kan gue bukan JK Rowling :) 
Gue gak akan berhenti menulis, sampai sekarang pun gue masih menulis. Tapi mungkin untuk sementara ini akan menjadi tulisan terakhir gue yang bisa dinikmati dalam bentuk cetak. Ketiga buku ini gue menggunakan jasa editor yang sama, teman-teman yang dengan baik hati sudah menjadi proof reader gue. Untuk covernya, gue diperkenalkan kepada seorang cewek ilustrator generasi milenial yang keren banget. Dan kali ini gue ga menggunakan jasa layouter karena sudah ada template yang disediakan oleh perusahaan printing on demand ini. 

Major FAQ adalah kenapa ga diterbitin di major publisher? Sebelum LL Pertama dicetak judul awalnya adalah My Twisted Love. Gue sempet kirim itu ke beberapa major publisher dan ditolak. Yeah, that's hurt. Tapi apa yang menjadi baik dari penolakan itu. Gue akhirnya benar-benar belajar menulis. Gue belajar menulis secara otodidak, dari berbagai sumber, sempat beberapa kali ikut workshop menulis yang akhirnya menjadi dasar gue untuk menambah ilmu dengan belajar sendiri. Sampai akhirnya gue mencari editor sendiri dan bertemu dengan editor yang komunikasinya hanya via email saja. Until now I haven't meet her in person. Tapi langsung klik aja, dan gue bisa menerima semua kritikan dia yang sungguh masuk akal. Jadi kalau ada yang nanya, ada dijual di toko buku ? Gak ada, jangan coba-coba bertanya sama SPGnya yah... hehehe. FAQ lainnya lebih baik gue bahas di tulisan lain aja ya.

Last but not least, terima kasih untuk semua yang udah berkontribusi di ketiga novel gue. untuk teman-teman yang ga bosen-bosen membaca ulang novel ini sebelum akhirnya menjadi final. Gue akan selalu mengenang kebaikan hati kalian. Untuk editor yang tidak pernah bosan mengoreksi ke-typo-an dan ketidakmasukakalan jalan cerita yang gue tulis. Untuk perancang sampul yang cepat tanggap dan bisa menerjemahkan apa yang gue mau. Untuk orang-orang di sekitar yang secara ga langsung mungkin menjadi inspirasi dari tulisan gue. Terima kasih juga buat teman-teman yang selalu bertanya," Kapan buku kedua?" setiap kali bertemu, atau bahkan yang memanggil gue dengan nama pena atau nama tokoh di dalam novel gue, atau yang memperkenalkan gue sebagai penulis kepada siapapun itu yang kebetulan terpaksa harus berkenalan dengan gue.

Terakhir, terima kasih kepada keluarga kecil gue dan keluarga besar gue dan kepada matahari yang selalu bersinar di luar sana.

Jangan pernah berhenti bermimpi, udah sih itu aja :)



Cheers, Dhidie.










Thursday 13 August 2020

Brad's Status - Rumput Tetangga (Tidak) Selalu Lebih Hijau

 Ga sengaja nemu film Ben Stiller ini, sebenarnya film lama tahun 2017 yang ketika gue mulai nonton kok kaya mecnceritakan seperti apa yang gue rasakan saat ini. Kalau kata anak sekarang, ini 'relate' banget sama gue. Film yang bercerita tentang seorang Ayah yang sebentar lagi akan melepas anak laki-lakinya ke bangku kuliah. Kebetulan tahun ini juga anak pertama gue akan menjadi mahasiswa. Jadi, seberapa 'relate' sebenarnya film ini?


Film ini menceritakan tentang seorang pria berusia 46 tahun (yah...umur gue udah mendekati itu sih.. :)) bernama Brad yang akan mengantarkan anak laki-lakinya untuk memilih kampus tempat si anak akan melanjutkan pendidikannya. Rupanya situasi tersebut membuat dia berpikir tentang dirinya sendiri, bahwa kehidupan yang dijalaninya di kota kecil Sacramento bersama istri dan anaknya tidak ada artinya dibandingkan dengan kesuksesan teman-teman di masa kuliahnya yang menurutnya jauh lebih sukses dibanding kondisinya sekarang yang merupakan pemilik sebuah organisasi nirlaba. Brad mulai membandingkan kehidupannya dengan teman-temannya yang dilihatnya di media sosial ataupun majalah, dan mengingat bagaimana kehidupan di masa kuliahnya dianggap oleh Brad merupakan masa kejayaan dari kehidupannya. Segitu aja tentang filmnya, karena gue ga mau spoiler...:)

Jadi seberapa relate-nya ini dengan kehidupan gue? Begitu mulai menonton film ini gue langsung ngomong dalam hati, ini gue banget sih. Memang pada saat gue menyadari bahwa anak gue ternyata sampai ke tahap dia harus masuk ke perguruan tinggi, gue menjadi flashback masa di mana gue berada di tahap itu. Bagaimana waktu itu gue merasa sudah dewasa atau dianggap dewasa oleh orang tua karena diperbolehkan mendaftar di universitas swasta dengan pilihan yang gue mau. Meskipun waktu itu gue masih ga yakin dengan apa yang gue pilih. Kemudian akhirnya gue menentukan jurusan waktu mendaftar di PTN, dengan catatan dari orang tua jurusan yang dipilih akan membuat gue mudah untuk mencari pekerjaan setelah lulus nanti. Belum lagi pengalaman pertama menjadi anak kos di Bandung dan sebagainya. Masa kuliah menjadi masa penuh harapan dimana masa depan terlihat begitu cerah di depan mata. Gue menelan bulat-bulat seluruh mata kuliah jurusan Akuntansi yang sampai akhir kuliahpun gue masih tidak mengerti kenapa gue memilih jurusan ini. Tapi gue berusaha menikmati karena masih ada harapan masa depan yang cerah menanti gue di depan sana setelah gue lulus nanti. 

Tapi ternyata perjalanan hidup seseorang tidak ditentukan oleh dimana dia kuliah dan jurusan apa yang diambilnya. Setelah lulus, mulai terlihat bahwa satu angkatan yang pernah bersama-sama menuntut ilmu di kelas yang sama pun akhirnya menemukan jalan hidupnya masing2. Ada yang begitu mudahnya mendapatkan pekerjaan di perusahaan FMCG besar yang menjadi idaman satu angkatan, ada yang bekerja di perusahaan minyak ternama, ada yang bekerja di instansi pemerintah, adapula yang memutuskan untuk langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dan dua puluh lima tahun kemudian, ketika anak pertama gue akan masuk ke bangku kuliah. Gue seperti kembali disadarkan tentang apa saja yang sudah gue lakukan selama dua puluh tahun ke belakang setelah gue lulus dari bangku kuliah. Kembali penasaran melihat kondisi teman-teman seangkatan dulu. Ada yang sudah menjadi pejabat di sebuah BUMN, ada yang menjadi CFO group perusahaan besar, ada sudah menjadi partner di KAP, ada sudah memiliki usaha sendiri, dan adapula mendedikasikan diri menjadi seorang ibu rumah tangga.

Setiap tahap kehidupan pasti terdapat pencapaian. Gue sadar kalau gue tidak boleh membanding-bandingkan apa yang gue definisikan pencapaian dengan apa yang sudah dicapai oleh orang lain. Film Brad's Status mengingatkan gue kalau apa yang gue anggap tidak penting mungkin adalah suatu hal yang luar biasa bagi orang lain. Dan begitupula sebaliknya. 

Setiap individu memiliki jalur perjalanan hidupnya masing-masing. Apa yang kita lihat seperti intan berlian yang berkilau, belum tentu sama berkilaunya apabila kita yang mengalaminya. Begitu pula dengan definisi kebahagiaan dari setiap orang yang berbeda. Ada yang sangat bahagia menjadi seorang ibu rumah tangga, ada yang bahagia bisa mencapai pendidikan yang tinggi atau ada yang bahagia dengan kesendiriannya namun bisa membantu orang banyak. 

Yang harus dilakukan saat ini adalah fokus kepada kehidupan sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dibandingkan sibuk fokus dengan kehidupan orang lain sehingga kita malah mengabaikan orang-orang yang terdekat dengan kita.

Terakhir, gue mau sharing satu kutipan bagus dari film ini,

"You can love the world, but you don't have to own the world"


Cheers, Dhidie



Thursday 23 July 2020

It's Okay Not To Do Anything - My Life After I Quit (Part-4)


Ga terasa udah hampir enam bulan gue di rumah aja.
Bukan karena pandemi yah tapi karena gue memang memutuskan untuk 
berhenti bekerja kantoran.
Ada beberapa yang mulai bertanya,
Gimana rasanya ?
Bosen ga ? Udah ngapain aja?
Ga mau balik kerja lagi? Gue lagi nyari auditor lho....
Mendadak gue merasa insecure.
Ternyata insecure bukan cuma milik ABG, tapi bisa terjadi sama siapa aja.
Dan seperti biasa gue lupa bersyukur. 
Untungnya waktu enam bulan ini seperti merubah support system gue, merubah inner circle gue
Thanks to my support system for always being there.....





"Lo pernah kaya gini ga? Satu hari tidak melakukan apa-apa, terus elo merasa bersalah karena ngeliat sekeliling lo tuh lagi pada sibuk semua."
Itu salah satu curhatan gue sama temen gue, kebetulan dulu dia juga sama-sama ibu bekerja tapi sudah sekitar dua tahun menjadi stay at home mother. 
Karena ada hari-hari dimana gue ngerasa capek tapi gue merasa bersalah kalau gue diem aja. Jadi gue selalu memutar otak untuk melakukan sesuatu, dan kalau sesuatu itu udah selesai, apapun itu, gue baru mulai merasa tenang.
Ngedit video, upload cerita, nyobain resep, apapun itu yang penting gue udah ngerasa melakukan sesuatu hari itu. 
Tapi tau gak temen gue itu bilang apa?
"Tapi jarang2 kan? Seringnya sibuk ini itu buat mereka kan? Break sekali2 gpp..."

Iya, gue lupa kalau hari yang gue ga ngerasa ngapa2in itu sebenernya, gue udah bikin nasi goreng untuk sarapan, siapin cemilan dan kopi untuk yang mau WFH dan LFH, order Aqua, bahkan gue udah sempet bikin karton boks buat simpan buku pelajaran anak gue. 
Lalu ketika semuanya udah selesai, tiba-tiba gue ngerasa gue ga melakukan apa2 hari itu.
Mungkin....gue masih suka kangen kerja di kantor. Masih suka kangen meeting, kangen menyapa orang pas ketemu di lift, kangen makan siang sama2, kangen menyelesaikan masalah kalau mendadak ada hal yang unpredictable, kangen menertawakan diri sendiri ketika stress bareng2 karena kerjaan, kangen melihat keluar jendela deket workstation gue ketika hari menjelang malam dan lampu-lampu mobil mulai berbaris rapi di jalan Jenderal Sudirman.
Itu aja sih......

Kemudian gue mulai mengurutkan apa saja yang sudah gue lakukan selama enam bulan ini.
Gue udah punya channel sendiri dan ternyata gue suka bikin video dan ngeditnya, meskipun viewernya masih dikit banget tapi gue suka ngerjainnya. Plus gue bisa sharing ilmu menulis juga melalui video gue. Lalu gue akhirnya punya waktu untuk ngerapiin trilogi Love's Labyrinth gue dan mempersiapkan draft cetaknya. 

Gue juga berhasil bikin roti sendiri dan nyobain berbagai resep untuk cemilan keluarga. 
Tapi suatu hari ade gue order dan minta gue buka PO, untuk pertama kalinya gue memberi harga pada makanan yang gue produksi sendiri. Kemudian gue jadi berani nawarin ke temen-temen. Dan rasanya menyenangkan. 
Gue ngeliat memasak itu sama seperti menulis, jangan cuma menulis untuk diri sendiri, tapi juga harus berani karya kita dibaca orang. Supaya kita tahu apakah karya kita sudah bagus atau masih harus diperbaiki lagi, dan kritikus terbaik itu adalah keluarga dan teman2 dekat, karena mereka pasti akan bicara apa adanya.
  Dan ga pernah terpikir oleh gue kalau masak bisa jadi adiksi baru buat gue. Ternyata ngulenin memiliki etek terapi yang sama kaya menulis. Karena bikin pengen lagi dan pengen lagi. 
Dari mulai menimbang bahan-bahan, mencampur, menguleni, sampai melihat adonan kita berkembang, rasanya luar biasa.
Belum lagi compliment spontan yang ga kita sangka-sangka,"Mami, ini brownies terenak".
Untungnya gue punya temen2 dan adik yang bisa gue curhatin kapan aja tentang baking kapan aja. Ga semua orang kan menganggap  masalah bolu kukus yang ga mekar dan 
cookies yang gosong merupakan masalah yang paling penting di dunia?
Dan gue pernah ga bisa tidur gara2 bolu kukus yang ga mekar. 
Setelah berhasil membuat bolu kukus gue mekar, rasanya seperti berhasil menyelesaikan teka-teki tersulit di dunia.
Kosa kata gue pun bertambah dengan kata-kata seperti kalis, kental berjejak, Au Bain Marie, dan kata-kata lain yang gue ga bisa definisikan sebelumnya. 
Gue juga jadi tahu perbedaan tepung protein rendah, sedang dan tinggi, gue jadi tahu kalau ragi lebih baik dikembangkan dulu sebelum dicampurkan ke adonan dan kalau bahan-bahan kue harus berada dalam kondisi suhu ruangan ketika akan digunakan.

Jadi pada saat kemarin ada yang bertanya,"Mau balik kerja lagi ga?" 
Gue memang sempat terdiam ragu. Terus terang, pasti akan sangat menyenangkan kalau gue bisa kembali kerja. 
Tapi untuk saat ini, gue sedang menikmati kelebihan waktu yang gue punya, gue sedang menikmati periode mati gaya ketika gue ga tahu gue harus ngapain lagi dalam satu hari. 
Gue sedang menikmati kapan saja gue bisa menulis, kapan saja gue bisa memasak, dan gue sedang menikmati waktu kapan saja gue bisa melihat anak2.

Itu aja sih.


Cheers, Dhidie







Sunday 14 June 2020

Nonton Drakor Bikin Laper :)


Terkadang yang kita perlukan hanyalah teman makan.
Teman yang bisa mendengarkan cerita kita sambil menikmati hidangan di hadapan kita.
Tidak semua teman makan itu menyenangkan lho, kalau salah memilih teman makan bisa-bisa merusak selera makan kita. Tapi kalau sudah ketemu teman makan yang cocok, bisa-bisa tiga kali sehari juga maunya makan bareng terus.
Ini bukan mau curhat tentang teman makan, tapi karena gue sedang tonton drakor yang judulnya "Dinner Mate" . Kalau kamu sudah tonton CLOY pasti kenal pemeran ceweknya, tapi kalau pemeran cowoknya gue ga terlalu tahu sih, karena setelah gue cari dia hanya main drakor2 action gitu yang hampir ga pernah gue tonton. 
Setiap kali nonton drakor, kenapa yah gue selalu jadi pengin makan makanan Korea. Ini cuma gue aja ? atau semua orang juga ?
Jadi makanan apa yang sering muncul di Drakor ?

dinner mate

1. Bibimbap
Ini semacam nasi yang cuma ditaruh sayuran kaya wortel dan timun di atasnya plus telur mata sapi. Terus cara makannya diaduk gitu pake kecap atau gochujang. Awalnya ga suka tapi lama kelamaan enak juga yah dan bikin ketagihan.


2. Korean Barbeque
Ini juga sering banget ada di drakor, biasanya tempatnya kaya warung-warung gitu. Sekarang lagi trend juga di Jakarta. Isinya bisa daging, seafood atau malah sayuran. 
Kalau bikin sendiri di rumah, harganya jauh lebih murah. 


3. Toppokki
Ini all time favourite gue sih. Sampai pernah nyoba bikin sendiri kue berasnya dan ga terlalu enak  ;) Kalau mau praktis yah beli yang instant aja, so far makan toppokki di resto Korea manapun di Jakarta ga pernah mengecewakan sih. 


4. Kimbap
Ini juga sekarang banyak dijual di Jakarta. Kalau di Korea bisa ditemuin di mana aja terutama di stasiun2 kereta bawah tanah. Praktis, murah dan kenyang banget. Cuma tinggal makan ini plus gorengan. Selesai deh. 


5. Naengmyeon 
Ini adalah mie Dingin Korea, kalau di Drakor biasanya dimakan setelah mereka makan barbeque. Ada dua jenis, yang kuah biasanya dikasih es batu dan yang pedas dengan kuah dipisah dan cara makannya langsung diaduk dengan sambal. 


6. Korean Soup
Macam-macam jenisnya, pokoknya semua yang berkuah. Isinya ada daging, sayuran, tahu, pokoknya lengkap. Kalau yang favorit sebenarnya Buda Jigae, ini bisa dimasak sendiri di rumah juga. 


7. Ice Americano dan pasta
Orang Korea itu ternyata suka ngopi juga. Terlihat dengan bertebarannya coffee shop di Korea. Tapi kalau gue perhatiin biasanya mereka kaya cuma order Ice Americano atau es kopi hitam aja, itu kalau di drakor yah.. hahaha. Terus sekarang banyak banget adegan makan pastanya atau masak pasta, mungkin karena mirip mie yah? atau buat nunjukin mereka sudah modern ? Entahlah.


8. Korean Ramen
Ini favorit juga karena gampang buat bikin sendiri di rumah. Sekarang mau cari mie Korea dengan merk Indonesia juga gampang banget. Yah intinya mie instant emang ga pernah salah. 


Sebenarnya ada lagi sih makanan yang sering banget muncul di drakor yaitu Korean Fried Chicken. Tapi kebetulan gue kayanya jarang banget foto kalau lagi makan itu padahal itu termasuk menu favorit juga. 
Kenapa semuanya jadi favorit yah ?

Kalau kamu menu favoritnya apa ?

Cheers,
Dhidie

Friday 29 May 2020

Boleh Nonton Drakor, Tapi Jangan Baper Dong!


Sejak kita semua lebih baik di rumah aja, kayanya hampir semua orang yang gue kenal punya kebiasaan baru. Ga cowok ga cewek semuanya nonton drakor.
Bahkan ada beberapa teman yang tadinya antipati jadi ikutan nonton juga.
Masih ingat ga zaman telenovela, kemudian jaman persinetronan ?
(iya, gue udah tua banget...)
Seperti itulah sekarang, ketika ikutan gemes pas kedua tokoh utama ga saling ngomong kalau sebenarnya suka, atau kesel banget sama seorang ayah yang tega banget sama anaknya. Kira-kira begitulah. Kalau ga pintar-pintar nontonnya kita bisa halu sendiri kebawa perasaan. Jadi baper, jadi bete sendiri, jadi emosi. 
Nah harus waspada yah kalau udah mulai kaya gitu berarti ada yang salah sama diri kita. 
Jangan tiba-tiba anak yang ga salah apa-apa kita marahin karena kita lagi kesel sama si cewek itu yang ga berhentinya jahat sama tokoh protagonis yang selalu teraniaya sepanjang episode. 
Salah satu definisi drama berdasarkan KBBI adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku/akting atau dialog yang dipentaskan. Jadi yah semua yang ada di drama itu yah cuma akting aja. Dan sudah pasti tujuannya untuk menghibur.
Kalau gue sih nonton drakor yang karena pengen terhibur, jadi gue rada pilih-pilih juga, kalau gue merasa dramanya akan bikin gue terseret dalam kesedihan atau pemikiran negatif, sebisa mungkin gue hindarin. Janganlah nonton hiburan yang malah biking depresi, ya kan ?
Gimana cara milihnya ? Biasanya kan sudah ada reviewnya secara global ceritanya tentang apa. Terus gue akan nonton episode pertamanya kalau cocok baru deh gue lanjutin. 
Ada tiga drakor yang gue tonton sampai selesai selama sebulan ini:

1. Weighlifting Fairy Kim Bok-Joo
Awalnya udah under estimate sama drakor ini karena pemainnya kayanya kok gue ga terlalu kenal dan apa yang menarik dari olah raga angkat besi. Tapi ternyata ceritanya menjadi menarik apabila atlit angkat besinya adalah seorang cewek. Masalah muncul ketika dia jatuh cinta sama seorang dokter yang bekerja di klinik penurunan berat badan. Konflik yang terjadi adalah si cewek harus menaikan berat badannya untuk bisa ikut serta di kategori berat badan tertentu sementara dia nekat mendaftar ke klinik tersebut agar bisa bertemu sang dokter. Penasaran kan ? Nonton aja.

2. Reply 1988
Ini rekomendasi dari seorang teman dan setelah bosan dengan drama yang drama banget nyaris tidak menapak ke bumi, nonton ini tuh kaya jadi fresh banget. Drama yang sangat membumi dengan background akhir tahun 80-an yang cukup otentik kalau menurut gue. Jadi nontonnya berasa nostalgia gitu. Masih inget zaman kaset ? zaman tonton bioskop ada batasan umur? telepon umum? Masa-masa berkirim surat dan janjian berkencan dengan mengandalkan telepon rumah ? Masa naksir orang tapi ga berani ngomong atau orang yang kita taksir ternyata suka sama orang lain ? Seri ini cukup panjang, 20 episode, tapi gue sedih banget pas gue udah selesai nontonnya, karena di setiap episode banyak banget moral story-nya yang bisa buat kita bersyukur. Btw Reply 1988 ini merupakan seri terakhir dari Reply seri, tapi katanya ini yang paling bagus. Dijamin ga nyesel nontonnya.

3. Eccentric! Chef Moon
Nonton ini karena tentang chef, ga tahu kenapa gue suka banget drakor yang ada masak-masaknya gitu. Tapi ternyata ga sesuai sama harapan gue sih, karena ceritanya ga fokus sama masaknya tapi sama konflik lain yang jauh lebih menarik. Dan sama Eric Mun yang udah lama banget ga muncul :) Masih ingat Another Miss Oh dan Discovery of Love kan? Nah akhirnya dia muncul lagi, lebih dewasa dan beda banget sih. Tapi tetap ganteng kok. Di sini dia jadi seorang chef yang kalem banget. Tokoh lainnya adalah seorang fashion desainer yang amnesia karena kecelakaan. Konflik yang terjadi tentang perebutan kekuasaan di sebuah perusahaan, salah satu tema favorit gue juga. Buat cowok bisa banget nonton karena masih ada sentuhan maskulinnya dan ga terlalu mengekspos kisah cinta si tokohnya. 

Udah sih gitu aja, semoga review ala kadarnya ini bisa bermanfaat nemenin selama di rumah aja. 


Cheers, Dhidie

Wednesday 13 May 2020

A Moment Before I Quit


Rasanya pertemuan mingguan kali ini berjalan sangat lambat. Mungkin sudah lebih dari empat kali aku melirik jam tangan perak di pergelangan tanganku dan sudah sejak tadi aku duduk gelisah di atas kursi ini. Keringat dingin mulai mengalir di belakang leherku, ketika kurasakan pertemuan sudah hampir mencapai akhir. Pria yang duduk tepat di hadapanku akhirnya menutup pertemuan hari ini dengan senyum khasnya. Seluruh peserta mengucapkan selamat sore dan berdiri untuk kemudian seperti berbaris meninggalkan ruangan pertemuan. Aku tidak beranjak dari dudukku sampai tersisa kami berdua di dalam ruangan itu. 



“ Pak, boleh saya minta waktunya sebentar ?” tanyaku sambil berdiri. Dia mengiyakan permintaanku, memberikan isyarat padaku untuk kembali duduk di tempatku. 
“ Ada yang bisa saya bantu ?” tanyanya dengan senyum di wajahnya. Bagaimana bisa aku melakukan ini kepada seorang pimpinan yang selama ini selalu mendukung kinerjaku. Mendadak terasa ada yang mengganjal di tenggorokanku. Aku mencoba menelan ludah beberapa kali untuk menghilangkan ganjalan itu. Setelah menarik nafas panjang akhirnya keluar juga kalimat itu. 
“ Pak, mohon maaf, mungkin ini waktunya tidak tepat, tapi tidak pernah akan ada waktu yang tepat untuk hal yang satu ini. Saya bermaksud untuk mengundurkan diri dari perusahaan.”
Ulasan senyum di wajahnya mendadak lenyap, raut di hadapanku seketika terlihat memucat. Aku tidak berani menatap matanya, menunduk memandang agenda di hadapanku yang menyimpan  sepucuk surat pengunduran diri yang sudah aku persiapkan sejak satu bulan yang lalu. 

Setelah kemarin, rasanya kehidupan kantor menjadi tidak seindah biasanya. Kalau kamu pernah merasakan patah hati, seperti itulah rasanya. Aku juga tidak menyangka kalau akibatnya akan separah ini. Seperti mendadak ada yang direnggut dari kehidupanku. Padahal keputusanku ini bukan keputusan yang kuambil dalam satu malam saja. Ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan sejak enam bulan yang lalu bahkan mungkin sudah muncul di kepalaku sejak tiga tahun yang lalu. Namun aku berusaha mengindahkan perasaan itu, meskipun langkah kakiku menuju kantor menjadi tidak seringan biasanya. Aku sadar bahawa harus bertahan dengan kondisi ini sampai dengan tiga bulan ke depan. Akhirnya aku bertekad, daripada menganggap tiga bulan ini sebagai akhir dunia, lebih baik bila aku menjadikan tiga bulan terakhir ini sebagai suatu kenangan indah yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Akupun mulai merubah pola berpikirku. Setiap pagi aku memulai hari dengan memilih baju yang paling aku sukai. Aku bahkan mengenakan baju-baju yang biasanya  hanya kukenakan di waktu-waktu spesial. Aku mulai mengulaskan sedikit riasan di wajahku. Aku menikmati kopi hitamku di kedai kopi favoritku setiap pagi dan melewatkan setiap jam makan siang dengan teman-teman kantorku. Aku merubah pola kerjaku, lebih berusaha bekerja sama dengan rekan kerja dari departemen lain yang biasanya menjadi lawan debatku. Layaknya seperti orang yang mengetahui tanggal kematiannya, aku mempersiapkan diriku untuk dikenang sebagai orang yang baik pada saat aku sudah meninggalkan tempat ini. 

Tanpa terasa akhirnya sampailah aku di hari terakhir aku bekerja di perusahaan ini. Rasanya aku ingin menikmati setiap detiknya. Entah berapa kali air mata membasahi pipiku. Semua teman-teman mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Akhirnya aku harus menerima pengunduran diriku sendiri dengan besar hati. Mungkin begini rasanya menjadi seorang pemimpin yang harus memberikan tongkat kepemimpinannya kepada penerusnya. Aku berusaha menghilangkan kecemasan tentang apa yang akan terjadi nanti setelah aku pergi. Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa inilah akhir dari perjalanan karirku di kantor ini. Aku mengusap meja kerjaku untuk terakhir kalinya, duduk berputar-putar di kursi seperti yang biasa kulakukan bila aku sedang mendapat masalah. Melemparkan pandangan ke luar jendela, melihat lampu kedai kopi yang masih menyala di bawah sana serta menikmati lampu mobil yang berbaris rapi di sepanjang jalan Jenderal Sudirman. Sudah tiba saatnya. 

Satu bulan selanjutnya kulewati  dengan rasa yang masih berada di antara mimpi dan kenyataan. Aku masih berusaha meyakinkan diri ini kalau ini adalah selamanya dan bukan sementara. Bahwa ini adalah sebuah awal yang baru, suatu permulaan untuk identitas baruku tanpa ada embel-embel korporasi yang sudah melekat padaku bertahun-tahun lamanya. Ternyata kecemasan itu tidak ada artinya, kelihatannya kantor berjalan seperti biasanya meskipun aku sudah tidak ada di sana. Aku harus bisa menerima bahwa tempatku sekarang adalah di rumah ini. Antara kamar tidur, dapur dan meja kerjaku. Tidak ada lagi kehidupan rumah dan kantor yang perlu diselaraskan lagi untuk saat ini. Seperti individu yang dilahirkan kembali, aku harus siap memulai semuanya dari nol lagi. Aku harus mencari identitas yang nantinya akan melekat pada diriku. Inilah waktunya untuk aku bisa menerima siapa sebenarnya aku. Untuk aku lebih mengenal keluargaku dengan lebih baik dan mengetahui siapa yang sebenarnya teman yang tetap tinggal setelah aku tidak memiliki jabatan sebagai aksesoris identitasku. Bukan hanya mendadak menjadi diri sendiri tapi juga aku mendadak menjadi sendirian. Meskipun terasa sepi tapi harus aku nikmati, karena sekarang waktunya untuk aktualisasi diri yang sejati. 

Hidup itu seperti roda yang berputar, posisi, jabatan, dan kekuasaan semuanya hanya bersifat sementara saja, Menjadi individu yang dikenang karena hal-hal baik akan menjadi lebih kekal dibandingkan dipandang karena posisi dan jabatan yang pernah dipegang. 


(Tulisan ini dibuat untuk tugas pelatihan menulis Komunitas Salihara - May 2020)

Sunday 26 April 2020

When you're Getting Older - My Life After I Quit (Part-2)


Tulisan ini bukan hanya tentang fakta bahwa gue ulang tahun hari ini.
Bahwa gue bersyukur masih diberikan kesempatan untuk
bertambah umur, untuk masih bernafas di tengah pandemi yang sempat memporak-porandakan kehidupan kita. 
Jadi rasanya Tuhan masih berkeinginan buat gue untuk melakukan sesuatu di dunia ini.
Buat orang lain mungkin ini baru memasuki bulan kedua di rumah aja, tapi buat gue ini adalah tepat tiga bulan gue di rumah aja. 
Tulisan ini tentang fakta bahwa sudah tiga bulan gue menjadi seorang individu yang seutuhnya tanpa embel-embel korporasi di belakang nama gue.
Ini adalah tentang kenyataan bahwa gue akhirnya bisa mencapai cita-cita tertinggi yang pernah gue impikan. Untuk menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya.



Gue sudah pernah curhat sebelumnya bagaimana gue ngejalanin satu bulan pertama gue sebagai manusia tanpa embel-embel korporasi di belakang nama gue. Kenapa embel-embel korporasi ? Karena orang mungkin menyimpan nomor hape gue di phonebooknya dengan nama "Indri" dan diikuti dengan nama perusahaan di belakangnya. Gue bahagia karena sekarang mungkin orang yang baru gue kenal akan menyimpan nomor telepon gue dengan hanya nama, atau nama panjang atau bahkan nama kecil gue.

Setelah satu bulan pertama berlalu. Ternyata bulan kedua juga tidak semudah seperti yang dibayangkan. Awal bulan gue mungkin masih happy karena gue bisa berlibur dengan anak bungsu gue yang sudah gue tinggal kerja sejak lahir. Gue sempat berlibur selama lima hari di Bali yang seperti membayar sebelas tahun gue menjadi ibu yang mungkin selama ini cuma diingat wajahnya sampai dengan jam enam pagi dan mulai diingat lagi jam delapan malam, itu juga kalau dia belum ketiduran. Yang bikin gue bahagia adalah ternyata gue tidak terlalu tidak mengenal anak gue. Ternyata bonding gue masih kuat dengan dia, meskipun video masa kecilnya hanya berisi pertanyaan," Mau tunggu mami pulang ga ?" Dan dia menggeleng sambil melanjutkan tidurnya. Karena mungkin di pikiran anak kecilnya, buat apa nunggu ibunya yang nanti muncul di kamarnya juga sudah dengan muka lelah dan mengantuk ? Dan gue sangat berterima-kasih kepada mbak-mbak pengasuh dan lingkungan sekolahnya yang sudah mengantarkannya menjadi teenager ini. Alhamdulillah.

Dan setelah gue balik lagi ke Jakarta, gue masih sibuk meet-up sama beberapa teman. Tapi di minggu kedua Maret, mendadak gue sakit lagi. Dan tambah ngerasa sakit karena berita pandemi yang akhirnya terpaksa gue ikuti setiap hari di rumah. Gue mendadak parno. Apa gue udah ketularan Corona pas gue di Bali kemarin ? Rasanya cemas banget dan kok kaya ga normal aja. Akhirnya gue ke dokter, periksa darah dan rontgen, Alhamdulillah ga ada yang salah sama kesehatan gue. Mungkin gue memang yah lagi sakit aja, mungkin juga psikis yang bikin gue sakit. Entahlah. Mungkin juga badan gue ini sedang sibuk men-detoks hal-hal jelek di tubuh gue. Mungkin dia sedang menyesuaikan diri dengan kondisi gue sekarang notabene ga stress, tubuh yang diajak santai dan ga terburu-buru harus beraktivitas di pagi hari, gue yang tidak lagi mengkonsumsi kopi hitam di pagi hari dan makanan yang gue makan yang jauh lebih teratur jadwalnya dan bergizi dibanding waktu gue kerja kemarin. Mungkin....

Apapun itu, masuk ke minggu ketiga, ada anjuran untuk di rumah aja dari pemerintah. Gue bersyukur karena gue sekarang sudah ga mesti membagi pikiran gue antara kantor dan rumah di kondisi seperti ini. Gue bersyukur karena di masa gue kesepian dan harus adaptasi dengan "kepengangguran" gue ini gue ditemenin sama keluarga kecil gue yang terpaksa harus WFH dan LFH. Dan gue juga bersyukur karena terus terang gue mulai bosan sama kehidupan di luar sana disamping gue juga belum tahu mau ngapain setelah gue di rumah aja ini. 

Meskipun ada beberapa rencana gue yang jadi tertunda karena gue ga bisa kemana-mana, tapi yah gue tetap bersyukur. Gue mulai fokus ke channel gue dan mikir tiap hari gue harus bikin content yang seperti apa. Dan, ternyata stress juga lho kerja sendirian, cuma yang akhirnya gue berpikir kalau ini adalah pilihan gue dan gue seharusnya ngejalanin ini dengan fun dan bukan malah jadi stress lagi. Gue akhirnya membiasakan diri untuk ga terlalu ambisius mencapai sesuatu, karena gue mau ini long-lasting dan gue takut gue akan kecapean dan menyerah sebelum gue puas melihat hasilnya. 

Masuk bulan ketiga, kesehatan gue masih belum full membaik. Masih on-off gitu. Gue berpikir apa proses detokfikasi tubuh gue ini belum selesai juga ? Dan gue juga bertanya-tanya, kenapa dulu ketika gue sibuk banget, hidup gue ga sehat dan gue sering skip meal, gue malah ga pernah ngerasa sakit ? Yah mungkin hati kecil gue masih belum bisa menerima kalau gue sekarang memang sudah di rumah aja.  Gimana sih ketika elo sudah terbiasa dengan segala keteraturan (yang tidak beraturan) selama belasan tahun, tiba-tiba elo menjadi tidak teratur (padahal lebih teratur) dalam sekejap mata. Pasti badan dan otak lo juga butuh waktu untuk beradaptasi kan ? Akhirnya gue nikmati aja ketika harus tiba-tiba sakit dan ga bisa berpikir apapun, gue nikmati ketika gue harus rebahan aja dan tidak melakukan apapun tanpa merasa bersalah. 

Intinya, gue harus membiasakan diri untuk ikhlas menerima siapa diri gue saat ini. Gue balik lagi jadi individu ketika gue masih kuliah dulu. Yang cuma punya tanggung jawab ke keluarga, kepada Tuhan dan tentu saja ke diri gue sendiri. Gue harus bisa meyakinkan diri gue kalau apa yang gue pilih ini adalah benar. Bahwa gue harus terus berusaha dan ga berhenti belajar untuk segera menjadi seorang "indri" yang lain. Bahwa gue sekarang cuma punya mungkin lima orang teman yang masih keep in touch dengan gue karena gue adalah "indri" dan bukan karena embel-embel korporasi di belakang nama gue. Bahwa semua orang akan mengalami hal ini, dan gue beruntung karena Insya Allah sudah memulai belasan tahun lebih awal dibanding orang lain. Bahwa gue akan terbiasa dengan semua perubahan ini. Bahwa hal-hal yang baik akan selalu mengikuti kita selama kita selalu berbuat baik. Bahwa cuma kita yang bisa membantu diri kita sendiri, bukan orang lain dan bahwa keluarga akan selalu ada untuk kita. Karena gue percaya kalau kitalah yang menciptakan kebahagian kita sendiri. 


Sekali lagi, ini adalah tentang bertambahnya umur gue di bulan Ramadhan ini. 
Selamat ulang tahun buat gue. 

Cheers,
Dhidie














Friday 17 April 2020

Di rumah Aja ? Nonton Drakor aja.....

Udah sebulan pas #dirumahaja. Kamu udah ngapain aja ?
Yang seneng masak, udah berapa resep yang dicoba dipraktekin ?
Yang seneng belanja online, hayo udah berapa kali unboxing selama sebulan ini ?
Yang senang berkebun, sedang nanam apa sekarang ?
Yang senang baca, sudah tamat berapa novel sampai hari ini ?
Yang suka beres-beres rumah, pasti sekarang lemari bajunya sudah lebih rapi. Terus sudah banyak barang yang siap di-give away buat yang lebih membutuhkan. 
Yang suka nonton drama korea, kamu sudah nonton apa aja ?




Nah, lewat tulisan ini, gue mau share tentang hal yang ga penting banget.
Drama Korea. Awalnya ga suka nonton Drakor karena dulu gue lebih suka drama Jepang, yang menurut gue bahasanya lebih halus dan lebih ga teriak-teriak aja gitu cara ngomongnya. 
Tapi ternyata gue salah, gue lupa sih pertama kali nonton judul apa di drakor era baru ini. Yah lupain aja tentang Hotelier, Winter Sonata yang jadul itu. 
Pokoknya gue ingetnya sekitar tahun 2014 atau 2015 gitu gue mulai nonton. 
Pas jamannya Descendant of The Sun gitu deh. Jujur gue ga nonton DOTS karena selera Drama gue ternyata ga terlalu main stream, atau yah gue emang ga suka nonton yang orang lain nonton aja. FYI gue juga ga nonton Goblin dan LOBS. Jadi biasanya gue akan secara random memilih satu drama berdasarkan judulnya. Kalau di episode pertama gue suka, gue akan lanjut, tapi kalau ga ya udahan. Kalau gue udah lanjut, gue kemudian akan memilih drama-drama selanjutnya berdasarkan si aktor atau aktris dari drama yang sebelumnya gue tonton. Tapi ngeselinnya kalau aktris lebih cepat turn-over jadi ga bakal banyak drama yang dia mainin, cuma kalau aktor bisa ada lebih banyak. Mungkin kalau cewek kehambat urusan umur kali yah. Kalau sudah berumur dikit langsung ga laku lagi. 

Sebenarnya yang gue suka dari Nonton Drakor adalah tidak vulgar. Kalau di Drakor cerita percintaan yang kayanya so sweet banget. Dan mungkin budaya asianya juga masih kental, jadi apa yang menurut kita tabu juga berlaku lebih kurang sama di Drakor. Kemudian nilai-nilai seperti keluarga, hormat kepada orang tua, kasih sayang dengan saudara, hormat kepada atasan di kantor itu masih sama dengan yang biasa kita hadapi sehari-hari. Kemudian dari drakor-drakor yang gue tonton, ada aja pengetahuan baru yang bisa gue tarik. Karena mereka menyajikan drama dengan begitu complexnya, kalau cerita tentang dunia pertelevisian, dunia politik, tentang congressman, tentang satu perusahaan yang bergerak di industri tertentu itu disajikan dengan jelas jadi ga cuma cerita berfokus pada sepasang kekasih saja, kayanya mungkin pemerintahnya memang mewajibkan drama itu ga boleh bikin rakyatnya jadi bodoh. Selain itu kebudayaan Korea juga banyak diselipkan, seperti makanannya, tempat-tempat wisata sampai make-up dan fashion-nya juga. Mungkin yang agak ngeselin kalau mereka sudah memasukan sponsor produk ke suatu scene yang kaya too obvious gitu kalau itu iklan, biasanya menjelang episode akhir. Cuma yah ga apa-apa juga, kita masih enjoy aja kan nontonnya ?

Sejak #dirumahaja, gue sudah nonton sekitar lima drama korea, sedikit gue review aja yah, siapa tahu bisa buat referensi.

1. www. search. 
Terus terang gue nonton ini karena ceritanya tentang office life gitu. Dan gue suka banget Nonton drakor dengan background situasi di kantor itu. Yah mungkin naluri sebagai mantan karyawan. Cerita tentang tiga wanita karir yang bekerja di bidang "mesin pencarian" alias search engine semacam google gitu. Intrik-intrik yang gue suka adalah bagaimana sebuah mesin pencarian bisa dijadikan sebagai alat propaganda maupun untuk saling menjatuhkan antar lawan politik. Dan bagaimana apa yang menjadi trending itu biasa diatur. Yang pasti message drama ini "Girl Power" banget.

2. CLOY alias Crash Landing On You
Tadinya ga pengin nonton karena menurut gue ini terlalu mainstream. Tapi banyak banget yang nyuruh nonton drama ini. Akhirnya gue menyerah dan nyobain episode pertama. Dan gue suka, karena cerita yang unik banget dan gue memang lagi penasaran tentang ada apa sih sebenarnya di North Korea. Apalagi sejak gue nonton film "The Interview". Drama ini bikin gue ga berhenti nonton karena seru aja lihat segitu bedanya kehidupan di Korsel dan Korut.  Dan ternyata cinta itu tidak mengenal utara dan selatan lho.... :)

3. Itaewon Class
Ini juga tadinya males nonton karena masih happening banget. Tapi, lagi-lagi gue disarankan untuk lanjut ke drakor ini. Episode pertama langsung nge-klik. Dasarnya pelajaran yang bisa kita ambil dari drama ini adalah ga ada yang ga mungkin di dunia. Selama kita masih punya mimpi dan konsisten untuk berusaha mencapai mimpi itu. 

4. What's Wrong With Secretary Kim
Gue nonton ini karena suka sama aktingnya Park Seo-joon di Itaewon Class. Dan karena background-nys adalah perkantoran lagi akhirnya gue nonton sampai habis. Padahal inti ceritanya adalah yah gitu aja, si sekretarisnya mau resign (dan karena gue habis resign jadi gue penasaran banget sama endingnya), terus ternyata boss-nya merasa kehilangan karena sudah bergantung banget sama si sekretaris yang sudah sembilan tahun bareng dia. Akhirnya dia mengupayakan berbagai cara supaya si sekretarisnya ga jadi resign. Yang menarik adalah, dengan topik yang sederhana banget, dia bisa bikin kita penasaran karena dia masukin cerita tentang penculikan yang menjadi masa lalu sang tokoh, jadi dapat thriller-nya juga. 

5. When The Weather is Fine
Ini drama baru sih dan gue nonton gara-gara Park Min Young yang main jadi secretary Kim. Masih berlanjut dramanya tapi gue berhenti dulu karena sebenarnya gue ga suka drama yang lagi on-going males aja nunggu episodenya.  Ceritanya sih lumayan bagus tentang seorang yang pulang ke kampung halamannya dan dia jadi ingat masa-masa SMA karena cukup buat dia trauma gitu. Ga mau spoiler ah, pokoknya nonton aja. 

6. My ID is Gangnam Beauty
Akhirnya gue sekarang lagi nonton ini, telat banget yah. Ada kasih tau kalau ini awalnya webtoon. Pantesan tokoh-tokohnya kaya epic situ kata di Itaewon Class. Ceritanya menarik karena menggambarkan bagaimana di Korea Selatan orang itu masih di-judge by how he/she's look. Jadi body-shaming itu memang parah banget, menurut gue klinik-klinik oplas di sana juga muncul yah gara-gara budaya ini. Ini juga yang bikin industri fashion dan kosmetik menjadi begitu berkembangnya, yah karena semua orang ingin tampil cantik. 
Yang terakhir ini belum selesai sih gue tonton tapi bentar lagi juga tamat.

Kalau kamu lagi nonton apa sekarang ?


Cheers,
Dhidie