Featured post

Sunday 31 October 2021

Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri China #bahasdrakor

 Pernah dengar pepatah itu kan? Tapi tulisan ini gak ada hubungannya sama itu sih. 
Tiba2 aja pengen nulis yang berhubungan dengan pendidikan karena anak gue yang bungsu sudah kelas 9 dan lagi sibuk belajar untuk Ujian Sekolah plus cari2 sekolahan dan baru2 ini gue nonton dua drakor yang ada hubungannya sama pendidikan yaitu "Penthouse", "Sky Castle" dan "High Class", jadi kok berasa relate aja antara tontonan dan kenyataan hidup. 



Apa sih persamaan antara ketiga drakor yang gue tonton itu. Ketiganya berlandaskan ambisi dan gengsi orang tua dalam merencanakan pendidikan anak2nya. 
Kalau di "Penthouse" diceritakan bagaimana anak2 harus masuk ke SMA Seni bergengsi bernama Cheong Ah untuk kemudian semua berambisi untuk meneruskan di Jurusan Musik dan Seoul University. Sementara di "Sky Castle" diceritakan bagaimana profesi dokter merupakan profesi yang harus diwariskan secara turun menurun kalau bisa sampai empat generasi tak terputus sehingga para orang tua berusaha keras mencarikan guru privat yang bisa membantu membimbing anak2 hingga bisa menjadi mahasiswa kedokteran di Seoul University. Sementara drama terakhir yaitu "High Class" mengisahkan tentang sekolah elite internasional yang berlokasi di Jeju Island yang hanya dapat dimasuki oleh kalangan tertentu saja, dengan kursi terbatas dan seleksi yang sangat ketat. 
Sudah kebayang kan?

Yang menjadi benang merah ketiga drakor ini adalah bagaimana orang tua memilihkan pendidikan untuk anak yang terkadang bersifat subyektif bahkan bisa jadi sebenarnya merupakan ambisi dari orang tua tersebut. Sudah pasti niat baik orang tua adalah demi masa depan anak yang cerah namun kalau di drama2 tersebut terkadang orang tua lebih mementingkan ambisinya sehingga melupakan kebutuhan anak untuk ikut memilih dan didengarkan serta kemampuan si anak itu sendiri. 

Sebagai orang tua kita berpikir apa yang kita pilihkan adalah yang terbaik untuk anak. Karena orang tua pasti merasa lebih berpengalaman atau mungkin ada penyesalan2 di masa lalu, ambisi yang tidak terpenuhi yang akhirnya dibebankan kepada anak dalam menjalani perjalanan pendidikannya. Apa yang dipilihkan untuk anak, menurut orang tua, adalah yang paling baik karena mungkin melihat orang lain yang sukses di suatu bidang, penyesalan karena dulu si orang tua gagal dalam mencapai cita2nya atau karena merasa lebih tahu akan bakat si anak. 
Tapi benar tidak sih kita sebagai orang tua bila bertindak seperti itu?

Tidak akan pernah ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya. Memang ada masa-masa dimana anak harus diarahkan. Seperti waktu usia TK atau SD, kita bisa saja mulai membuatnya mengikuti kursus musik atau masuk club olah raga dengan sedikit paksaan karena di usia itu, anak memang belum tahu apa yang diinginkannya dan apa yang menjadi bakatnya. Tapi bagaimana kalau anak sudah berada di usia remaja seperti di SMP dan SMA? Apakah kita masih tetap harus memaksakan anak untuk melakukan sesuatu yang bukan minatnya dan membuatnya merasa tertekan karena harus melakukan sesuatu yang tidak disukainya?

Kalau di drakor sih contoh akibatnya dari orang tua yang berambisi bisa dilihat dari beberapa kasus. Misalnya di "Penthouse" ketika Seo Jin memaksa putrinya Eun Byeol untuk menjadi penyanyi klasik, yang mengakibatkan gangguan kejiwaan. Sementara di serial "Sky Castle" cerita diawali dengan diterimanya salah seorang putra dari salah satu penghuni komplek Sky Castle di Fakultas Kedokteran yang diikuti dengan kisah tragis si anak yang melarikan diri dari kampus dan sang ibu yang bunuh diri. Sedangkan untuk serial "High Class" ceritanya agak berbeda namun tetap menceritakan sekelompok ibu2 kelas atas yang memiliki ambisi yang kuat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah internasional HSC dan berambisi memiliki anak yang sempurna dan memiliki keahlian khusus. 

Sebenarnya salah enggak sih kalau orang tua "mengatur" pendidikan anak dan menginginkan anak menjadi "apa"?
Yah, gak salah juga sih, tapi mungkin yang salah, kalau si orang tua terlalu menuntut sementara anaknya sebenarnya memiliki bakat yang lain yang akhirnya menjadikan si anak stress dalam menjalani pilihan orang tuanya. Mungkin waktu anak masih kecil, bolehlah dia diikutkan kursus musik atau olah raga. Tapi orang tua juga harus melihat apakah si anak enjoy menjalaninya? Atau mungkin orang tua harus jeli melihat bakat terpendam dari anaknya, sehingga bisa semakin diasah dan difokuskan untuk membuat bakatnya menjadi suatu pencapaian. 

Mungkin, gue bukan orang tua yang terlalu berambisi anak harus begini atau begitu. Karena gue hampir selalu bekerja, gue hanya fokus pada nilai2 anak2 gue aja. Apakah anak2 bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Gue termasuk yang santai membiarkan mereka untuk memilih, ketika keduanya kursus musik, meskipun bisa mengikuti tapi kelihatan tidak terlalu excited, yah di saat gue merasa cukup yah gue tidak memaksa mereka untuk meneruskannya. Atau ketika si sulung mengambil ekskul futsal kelihatannya dia tidak terlalu senang, gue juga tidak keberatan. Ketika pada akhirnya di SMA dia mengambil ekskul bulu tangkis dan sering bermain futsal dengan teman-temannya dengan keinginan sendiri, gue cukup happy. Untuk si bungsu gue fokus kepada taekwondo sampai level tertentu karena di saat dia mulai bosan dan berhenti gue meminta dia meneruskannya minimal hingga level tertentu saja. 

Yah, kalau menurut pendapat gue, anak tidak bisa dibiarkan dalam menjalani pendidikannya  begitu saja, karena mereka tetap perlu dibimbing, diberikan contoh dan pandangan dari orang tuanya yang sudah lebih berpengalaman dalam menjalani hidup. 
Tapi yang harus diingat, jangan sampai subyektifitas orang tua mempengaruhi cara orang tua memetakan pendidikan anaknya. Karena gengsi harus masuk kedokteran, padahal mungkin anaknya lebih berbakat di bidang seni? Atau karena dulu orang tua ingin masuk Fakultas Teknik, anaknya jadi dipaksa untuk masuk ke jurusan yang sama. Kasihan kan?


Setuju gak?

Cheers, Dhidie


Sunday 24 October 2021

One Day City Escape

 Jujur, gue termasuk orang yang enggak keberatan buat di rumah aja gak kemana2. Karena kayanya di rumah aja udah menyenangkan dan banyak yang bisa dilakukan, lagi pula gue males ribet aja kalau harus pergi2, karena harus pakai masker, harus siaga sama hand sanitizer di tangan. Harus jaga jarak, jadi berasa was2 dan lelah secara mental kalau ke luar rumah. Sampai pada suatu hari ketika gak sengaja gue pergi keluar rumah dan gue seperti diingatkan betapa menyenangkannya kehidupan offline, ngeliat pemandangan, foto2 di berbagai sudut, dine in di restoran dan ngobrol langsung tanpa layar. 
Ternyata gue belum berubah menjadi makhluk anti sosial.


Jalan-jalan gue ke PIK alias Pantai Indah Kapuk di hari itu sebenarnya gak direncanakan. Udah dari lama banget gue pengen ke sana, cuma pengen nyobain satu toko kue yang gue follow instagram. Biasalah studi banding antar tukang kue. Sampai akhirnya di hari itu, dari rencana awal mau ke Citos aja, kita memutuskan untuk cus ke Pantai Indah Kapuk. Naik tol  dari arah Lebak Bulus cuma sekitar 30 menit, deket kan.... Hahaha....

Pas sampai di PIK, gue kaya throwback jaman2 ngantor, banyak banget customer gue di daerah sini.. Dan ada rasa senang karena gue bisa ada di situ weekdays bukan karena urusan pekerjaan. Tapi ternyata PIK udah berubah banyak yah, bulevar yang dulu kayanya mewah banget sekarang jadi kaya kecil dan banyak restoran yang udah tutup juga. Ternyata keriaan sudah berpindah ke PIK 2. 

Langsung dong kita menguatkan niat untuk melihat pantai buatan ala Sentosa Island di Singapore. Katanya sih sejak PPKM pantainya ditutup, tapi namanya juga ibu2 kan, pantang pulang sebelum mendapatkan apa yang diinginkan.. :) Betul begitu, Bund?
Karena ternyata gerbangnya terbuka begitu saja, akhirnya kita parkir dan berjalan menuju pantai. Restoran di pinggir pantainya sih gak ada yang buka, tapi yah...niatnya cuma pengen ngeliat aja kok. Dan ternyata, Masya Allah bisa lihat pantai lagi meskipun buatan... Berasa excited banget, sampe hampir aja mau loncatin pagar, untung ada mas2 yang bilang, "Lewat sana aja, Mbak." Ternyata bisa masuk gitu aja gak perlu lompatin tembok... :)

Memang berasa di Sentosa banget dan Alhamdulillah karena sepi jadi ga mesti ngantri buat foto di landmarknya pantai  yang bertuliskan "White Sand Beach". Terus lanjut foto2, bikin video, pokoknya kaya enggak lagi di Jakarta deh. Meskipun panas banget dan SPF 50++ gue kayanya gak ngaruh sama sekali, but it's okay, yang penting happy kan? Kayanya ngeliat pohon dan bunga2 liar langsung ngebayangin lagi di Jeju Island, kasian banget kan?

Sampai akhirnya setelah satu jam lebih  kesenangan kita terhenti karena disuruh keluar sama Mas2 Satpol. "Mbak, maaf ini pantainya belum dibuka buat umum."
"Oh, gitu, Pak"
Alhamdulillah udah puas yah foto2nya...hahaha....

Katanya harus banget foto di sini... :P






bayangin aja lagi di Jeju Island

Lalu-lalu kita akhirnya cari makan dengan mengandalkan google map dan instagram. Tapi ternyata tempat yang instagramablenya udah pada tutup dan kita gak punya referensi lagi. Akhirnya kita ke Pantjoran PIK aja. Semacam tempat makan dengan konsep pecinan gitu. Dan untungnya karena jam nanggung tempatnya sepi. 

Ternyata seru juga di dalamnya, kaya pengen foto di setiap sudut gitu. Dasar yah... Tapi karena lapar, akhirnya kita memutuskan untuk makan dulu. Kita makan di restoran melayu gitu namanya Ponggol. Menu utamanya sih nasi lemak, enak dan gak mahal. Ya iyalah dibayarin. Ma kasih yah, sis!
Gue makan nasi lemak pakai ayam gitu dan es teh tawar cuma 50rb-an. Sebenarnya masih banyak sih resto yang lain, tapi karena agak2 was2 jadi kita cari yang ada label halalnya aja. Ada banyak jajanan juga sih kalau lagi gak pengen makan berat, kaya bola2 ubi, squid gitu, yah..pokoknya banyak deh. Habis makan kita nyempetin minum kopsus Tak Kie, yang gue udah pengen sejak lama tapi gak kesampaian karena males ke daerah Kota.






the legend

Habis makan, kita nyeberang ke Urban Farm karena musholla yang ada di Pantjoran gak terlalu besar. Sementara nungguin shalat, gue jalan2 lagi di Urbank Farm dan di sini banyak jajanan juga. Terus ada bakery Perancis yang lagi happening banget "Monsieur Spoon" tapi gue gak berani masuk karena rame banget. Nampaknya di dalam orang2 pada lupa apa itu social distancing. Tapi... gue cukup puas dengan liat2 stall2 makanan di sekitar situ, ada Toby's Estate yang besar banget juga di situ. Yah... maybe next time ke situ lagi yah....






Gitu deh, hari yang cukup melelahkan, cuma puas banget karena akhirnya gak disangka2 bisa refreshing sebentar dari rutinitas di rumah. Memang yah sesuatu yang ga direncanakan biasanya jauh lebih sukses dibandingkan yang direncanakan jauh2 hari. 
Masih pengen sih ke sana, mungkin nextnya gue beneran mau ke toko kue yang gue pengen datengin itu, dan masih pengen explore makanan di pecinannya sih....

Ternyata kehidupan offline masih lebih menyenangkan yah?

Cheers, Dhidie...



Sunday 10 October 2021

Tunai atau Kredit? #ngobrolfinansial

Waktu gue buka pertanyaan tentang resolusi. di akhir tahun lalu, ada satu resolusi finansial yang menurut gue cukup menarik dan ga biasa, yaitu “ Mau membeli mobil dengan tunai!!”




Menarik banget kan? 

Kenapa menarik menurut gue, karena biasanya orang membeli mobil dengan angsuran atau cicilan tapi si temen gue ini dengan yakin dan pasti menjawab dia mau membeli mobil dengan tunai. Artinya apa? Artinya dia memang sudah mulai menabung jauh-jauh hari demi si mobil idaman dan akan terwujud tahun ini atau dia memang enggak akan beli mobil dulu sebelum uangnya benar2 terkumpul buat membeli mobil tersebut.


Perdebatan untuk membeli sesuatu secara tunai atau kredit pasti akan selalu muncul di pikiran kita. Biasanya terjadi untuk sesuatu yang bersifat luxury dan bukan kebutuhan pokok sehari-hari. Misalnya: membeli rumah, membeli mobil, membeli smartphone terkini,  membeli laptop, membeli tas branded.


Tapi ada masa-masa dimana promo kartu kredit sebegitu hebatnya kasih diskon untuk makan di restoran, beli kopi, nonton bioskop, bahkan bisa bikin kita berperang juga untuk memilih antara bayar tunai atau pakai kartu kredit untuk makan siang. Sesuatu yang sebenarnya merupakan kebutuhan harian kita. 


Berdasarkan pooling yang gue lakukan di instagram, untuk membeli gadget terkini 70% dari teman2 gue, menggunakan uang tunai dan sisanya menggunakan kartu kredit. Suatu hal yang baru sih kalau menurut gue karena ternyata anak jaman sekarang udah mulai mikir tentang penggunaan kartu kreditnya.


Kalau jaman dulu berhutang paling sederhana itu yah di kartu kredit atau KTA. Popularitas kartu kredit saat ini tampaknya sudah jauh menurun, namun berganti dengan sesuatu yang lebih mengerikan yaitu pinjaman online alias Pinjol dan promosi tunda pembayaran yang sekarang banyak ditawarkan oleh aplikasi maupun e-commerce. 


Tapi sebelum masuk ke situ kita bahas dulu mengenai apa Itu hutang ya?


Hutang atau Utang menurut KBBI adalah uang yang dipinjam dari orang lain atau kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima: 


Di dalam dasar perencanaan keuangan menghitung kekayaan bersih dilakukan dengan mengurangi jumlah aset dengan total utang yang dimiliki. 


Jadi defisini  kekayaan itu bukan dari jumlah penghasilan tapi dari surplus atau jumlah yang didapat setelah aset dikurangi dengan utang. 


Apabila ternyata hasil yang didapat dari mengurangkan jumlah hutang terhadap aset adalah minus alias negatif, maka artinya kamu mengalami defisit, alias besar pasak daripada tiang. 


Gimana sih cara mengatasi defisit keuangan tersebut ? Bisa dengan mengurangi/mengambil aset yang ada misalnya mengambil tabungan atau menjual aset, atau bisa juga dengan menambah hutang atau menutup defisit tersebut dengan hutang. Bisa dilakukan dengan berhutang kepada kerabat ataupun lembaga keuangan. 


Sebenarnya berhutang itu tidak selalu berarti negatif kok karena ada beberapa tujuan hutang yang sifatnya produktif, misalnya untuk tujuan bisnis sebagai modal kerja atau menambah aset perusahaan atau untuk tujuan konsumsi seperti membeli rumah.


Kenapa membeli rumah masuk ke dalam hutang produktif padahal KPR merupakan hutang konsumsi sama halnya dengan  hutang kendaraan bermotor. Alasannya adalah selain rumah merupakan kebutuhan utama, berbeda dengan kendaraan bermotor, nilai rumah sebagai aset juga akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. 


Selain tujuan bisnis dan tujuan konsumsi, ada juga tujuan berhutang untuk likuiditas seperti membeli kebutuhan pokok atau tujuan darurat seperti membayar biaya rumah sakit. 


Kalau melihat tujuan berhutang di atas, kita bisa melihat bahwa ada sisi positif dan negatif dari berhutang yaitu, sisi positifnya: kemungkinan mendapatkan keuntungan/peluang bisnis, bisa keluar sementara dari defisit keuangan dan membuat kita mampu membeli barang yang bernilai tinggi/sangat besar. 


Sedangkan dampak negatif dari berhutang di antaranya adalah menjadi passive expense (adanya pembayaran pokok dan bunga setiap bulannya), aset bisa disita bila kita gagal bayar, (amit-amit) menjadi kredit macet masuk ke dalam Daftar Hitam Bank Indonesia, kita bekerja keras untuk membayar hutang bahkan bisa menyebabkan gangguan mental dan emosional.


Gimana sih cara mengendalikan hutang supaya kita tidak terjebak dengan porsi hutang yang sebenarnya sudah di luar kemampuan kita?


1. Menghitung Debt Service Ratio


DSR merupakan jumlah semua pembayaran hutang atau cicilan perbulan dibagi jumlah pendapatan bersih perbulan


Penghasilan bersih adalah setelah dipotong pajak

DSR max 35% atau bisa lebih besar untuk yang memiliki income yang besar


Jadi misalnya penghasilan bersih kamu Rp.10 Juta setelah dipotong pajak maka maksimal porsi pembayaran hutang kamu per bulan adalah Rp. 3.5 Juta. Ini merupakan total dari semua hutang yang kamu miliki seperti cicilan KPR, KPM, dan kartu kredit. 


2. Mengetahui Debt to Asset Ratio


Jumlah semua hutang pribadi/keluarga dibagi jumlah asset pribadi/keluarga


Max 50%

Di luar hutang KPR usahakan agar total hutang tidak melebihi total kekayaan bersih


Kalau total aset kamu (rumah, investasi dan aset lainnya) adalah Rp. 500 Juta, maka total hutang di luar hutang KPR misalnya kartu kredit, KTA, KPM tidak boleh melebihi Rp.250 Juta. 


Terdapat juga apa yang disebut kaidah resolusi keuangan atau debt resolution rule  berikut ini, yaitu:

1. Mengendalikan hutang non KPR (Kartu kredit, KTA, KPM, cicilan lainnya)

2. Melunasi kartu kredit secepatnya, jangan terus membayar minimum tagihan

3. Melunasi hutang non KPR setiap 3 tahun, artinya harus disiplin mereview hutang-hutang apa saja selain hutang KPR yang dimiliki. Karena semakin panjang waktunya maka ada kemungkinan bunganya sudah bergulung.

4. Consumer loan jangka pendek seperti KTA sangat tidak tepat untuk membiayai pinjaman berjangka di atas 3 tahun seperti KPR.


Jadi yah, sebaiknya bijaksanalah dalam berhutang, mungkin tips-tips berikut ini bisa membantu, sebelum memutuskan untuk berhutang atau menambah hutang: 

  1. Jangan berhutang karena emosional
  2. Pastikan sumber pembayaran hutang dan bunganya terjamin (sekaligus atau dicicil)
  3. Hindari defisit keuangan terus menerus (gali lubang tutup lubang)
  4. Apabila memaksakan berhutang untuk membeli suatu barang, apa akibatnya bagi diri anda bila anda tidak membeli barran tersebut?
  5. Berhutang untuk membeli aset yang nilainya naik seperti KPR dan hutang modal kerja/kegiatan usaha
  6. Hindari berhutang untuk membeli aset yang nilainya menurun (seperti mobil/peralatan elektronik)
  7. Ketahui perbedaan Bunga flat (biasanya untuk KKB/CC) dan bunga efektif (KPR/Modal Kerja)

Yah, gitu deh. Sebenarnya kalau mau dibahas lebih jauh bisa panjang kali lebar pembahasan mengenai hutang ini. Kalau mau nonton obrolannya, bisa disimak di IGTVnya @ceritarasa127.

Semoga bermanfaat, sehat keuangan untuk sehat jasmani dan Rohani :)


Cheers, dhidie

Indri Dewi Indriani, SE,Ak. CFP.