Featured post

Tuesday 3 March 2020

My Life After I Quit (Part-1)

Gimana sih rasanya hidup setelah mengundurkan diri dari kantor yang sudah menjadi bagian hampir dari seperempat hidup kita ?
Yah gitu deh, berat. Mellownya juga sampai berbulan-bulan. Dan gimana setelah satu bulan ngejalanin hidup tanpa embel-embel kantor itu ? Yah mungkin terlalu cepat kalau menyimpulkan sekarang, tapi ini yang gue rasakan setelah satu bulan pengunduran diri gue. Gue cerita dari awal aja yah. dan beginilah ceritanya.




So finally I submitted my resignation letter. Tentu saja bukan hal yang mudah, setelah hampir sebelas tahun berada di perusahaan yang sama, atau bisa dibilang hampir seperempat hidup gue ada di perusahaan yang sama. Mungkin karena sesumbar gue dari awal pas awal gue mau masuk ke kantor ini, dan gue resign dari perusahaan sebelumnya, " Saya pengin banget kerja di perusahaan ini, Pak. Mungkin ini akan jadi bank terakhir tempat saya bekerja." Dear mantan Boss gue kalau kamu baca ini pasti kamu masih ingat.

Sebenarnya apa sih alasan gue buat resign ? Pasti itu pertanyaan yang ada di benar orang-orang ketika mendengar dan mengkonfirmasi hal ini. Posisi ada lah lumayan, meskipun gue termasuk yang ketinggalan jauh sama teman-teman kuliah angkatan gue yang sudah pada jadi "orang". Perusahaan ? Oke banget. Lokasi ? Sekarang ada MRT harusnya bukan masalah lagi dong. Karena dari sebelumnya gue nyetir dua jam ke kantor jadi cuma 20 menit saja, saudara-saudara. Jam kerja ? perusahaan tempat gue kerja ini sangat menghargai work-life balance jadi pintar-pintar kita aja untuk mengatur waktu. Atau yah mungkin gue selama ini selalu punya atasan yang baik yang mengerti kalau gue cuma perempuan biasa yang punya anak yang terkadang sakit dan harus dirawat di rumah sakit, ibu-ibu pada umumnya yang harus menghadiri pertemuan orang tua ini dan itu di sekolah, dan seorang Istri yang kadang izin datang telat karena harus masak dulu sebelum berangkat kerja berhubung pembantu mendadak pulang. Benar-benar gak ada yang salah dengan pekerjaan gue ini.

Yang salah adalah pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul di otak gue. What if ? what if ? what if ? Ada sesuatu yang rasanya terus menerus muncul di kepala gue. Ada penasaran-penasaran ingin mencoba sesuatu hal yang baru, atau minimal hal yang selama ini sudah gue mulai tapi gue ga bisa fokus karena masih membagi pikiran gue ke banyak hal. Ada keinginan untuk membuktikan sesuatu kalau gue bisa, tapi gue ga mau mengambinghitamkan pekerjaan gue dan bilang kalau gue ga bisa capai itu karena gue masih bekerja. 

Satu hal yang gue masih ingat adalah waktu itu umur gue masih di awal tiga puluh tahun dan gue harus ganti-ganti bis karena lokasi kantor cabang yang jauh banget dari rumah, gue berkata dalam hati, umur empat pulun tahun gue ga mau masih kaya gini, gelantungan di bis meskipun waktu itu bis transjakarta bukan bis sembarang yang gerah gitu. Tapi tetap aja. Walaupun waktu itu semua membaik, meskipun perlahan tapi pekerjaan gue cenderung membaik, ga perlu gelantungan di bis lagi, bahkan ada supir kantor tapi that's life the more you get the more you want more. Ketika kita sudah terpenuhi secara fisik akan ada kepuasan batin yang seakan tidak terpenuhi.

Kalau orang bilang gue mengejar passion, mungkin iya, Tapi bukan cuma itu, ketika gue akhirnya disadarkan kalau tahun ini Anak gue sudah mau masuk kuliah dan dia memilih untuk masuk kampus di luar kota. Gue langsung berpikir, where have you been ? Anak gue itu ga gitu aja jadi dewasa terus kalau sebentar lagi dia pergi ke luar kota, bekerja, menikah, dan gue sebagai ibunya sudah kehilangan banyak moment bareng dia. 

Karena gue masih ingat pertana kali gue kerja serius itu tahun 2005, waktu itu regional head yang menginterview gue bertanya dengan serius, " Kamu yakin mau ninggalin Anak kamu ? Umur tiga tahun sedang lucu-lucunya lho." Gue dengan yakinnya menjawab," Justru karena dia sudah akan mulai sekolah saya menjadi yakin, Bu." Dan sekarang lima belas tahun kemudian. Anak gue udah mau jadi mahasiswa. Gue cuma pengin lebih dekat aja sama mereka, itu aja. Minimal gue bisa nemenin perjalanan menuju dunia mahasiswa seperti dulu mama nemenin saya menjelang saya kuliah di Bandung. 

Bagaimana proses pengunduran diri itu sendiri, mungkin gue bisa bagi menjadi tiga fase. Fase sebelum, fase masa pengunduran diri dan fase setelah pengunduran diri itu sendiri. Pada fase sebelum pengunduran diri itu berat banget rasanya, cuma akhirnya gue menguatkan niat gue dengan bikin draft surat resign dulu, yang mungkin hampir satu bulan ada di laptop gue yang kemudian suka gue baca pada saat gue kerja. Dan itu semakin menguatkan niat gue. Kemudian setelah merasa situasi pekerjaan aman dan terkendali baru gue akhirnya gue ngomong sama boss gue. Hal yang paling berat gue lakukan, karena boss gue ini baiiiikkkkknya minta ampun. Dan dia cuma meminta gue untuk berpikir ulang, bahkan sampai di bulan terakhir gue kerja dia masih bilang," Kalau kamu berubah pikiran masih bisa kok, Ndri." OMG. 

Fase kedua adalah fase masa pengunduran diri. Three months notice, Panjang banget kan. Dan tiga bulan ini benar-benar ga berasa karena sesibuk itu gue. Cuma dalam tiga bulan gue hanya perlu memastikan, untuk diri gue sendiri, kalau semua akan baik-baik saja setelah gue pergi. Yang berat di fase ini adalah bagaimana gue harus menyampaikan ke tim gue, yang saat itu gue merasa itu adalah tim terbaik gue. Gue ga tahu bagaimana reaksi mereka nanti, karena kondisi pekerjaan yang memang sedang luar biasa perlu kerjasama tim yang baik untuk saling menguatkan. Dan ga kerasa akhirnya gue sampai juga di bulan terakhir gue di kantor ini, sudah mulai ikhlas, bisa menerima kalau gue akan pergi, semakin sedih karena harus ninggalin teman-teman yang sudah bertahun-tahun sama-sama, tapi ada secercah harapan kalau setelah ini gue bisa menghabiskan waktu dengan hobi gue dan lebih banyak waktu dengan keluarga di rumah. 

Fase ketiga adalah fase setelah gue berhenti sama sekali. Satu minggu sebelum last day gue, gue ambil sisa cuti gue empat hari. Dan gue sakit. Kata suami gue," Kamu post power syndrom." Gue masih menyangkalnya. Post power syndrom gimana ? Gue kan bukan orang sok-sok gila kekuasaan dan sebagainya. Tapi sekarang gue baru mengerti maksudnya. Ternyata bukan masalah jabatan atau pekerjaan atau team yang disebut post power itu. Tapi, status. Gue seperti bayi yang bingung puting, gue merasa bingung status gue apa. Setelah bertahun-tahun berstatus karyawan dan mengeyampingkan status ibu rumah tangga, sekarang, suka atau tidak, saya adalah ibu rumah tangga. 

Minggu pertama setelah resign, tiga hari gue ga keluar kamar. Bahkan gue ga nafsu makan. Rasanya semua yang dirasa di  lidah ini pahit saja, dan air mata ini kaya ga habis-habisnya keluar cuma gara-gara gue nonton youtube doang. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Setiap jam gue membayangkan, kalau jam segini gue lagi ngapain yah di kantor, jam segini gue lagi ngapain yah. Dan rasanya sepi banget, kok kaya lebih baik telepon di meja yang ga berhenti-hentinya berdering dibanding cuma di kamar seperti ini. 

Pas hari keempat, gue bilang sama diri gue sendiri, kalau gue ga bisa gini terus-terusan. Gue akhirnya keluar rumah, cari sarapan, pergi ke coffee shop, mulai nulis lagi, belanja di supermarket kemudian jalan-jalan di mal sampai malam. Besoknya gue menyibukan diri mengurus ini itu, datang ke arisan, dan gue mulai membuka diri untuk hal-hal baru, mulai yoga lagi, mencoba ikut pengajian, mulai ke dapur lagi, mulai belajar bikin video YouTube  mulai nulis di blog lagi dan bertemu dengan teman-teman lama.

Mungkin yang berat adalah di saat, biasanya waktu ngantor dulu gue ga pernah kehabisan teman makan siang, sekarang gue hampir selalu makan siang sendirian. Kemudian ga punya teman ngobrol yang kapan aja bisa diajak ngobrol. Kalau anak-anak belum pulang dari sekolah rasanya sepi banget, sekali dua kali gue masih merasa frustasi. Belum lagi pertanyaan orang-orang yang gue bingung mau jawabnya gimana. " Jadi sekarang ngapain ?" Jadi ibu rumah tangga ?" Mau fokus nulis aja ?" Belum lagi kata-kata yang bersifat men-judge seperti," Bukannya anak-anak kamu sudah besar yah, bukannya sudah terlambat untuk menjadi ibu rumah tangga ?"

Hey, dari dulu juga saya ibu rumah tangga, dari dulu juga saya seorang ibu, hanya saja saya bekerja di luar rumah. 

Depresi pada awalnya, namun pada akhirnya saya bersyukur mengambil keputusan ini. Ketika supporting system saya menenangkan saya dengan bilang," Sudah tidak usah berpikir apa-apa dulu. Nikmati dulu kondisi saat ini." Ketika saya bertanya kepada anak saya," Kalau ditanya sama teman, mama kamu kerjanya apa, kamu bilangnya apa ?" Dia dengan lantang bilang," penulis." Alhamdulillah. Sekarang saya bisa berlibur kapan saja, menengok orang tua saya kapan saja, tidak misuh-misuh ketika mengatur jadwal pengambilan rapot anak, saya bisa mengantarkan Anak saya ke sekolah kapan saja, bahkan saya sekarang belajar menyukai tanaman. 

Sekarang saya sedang menikmati fase hidup saya yang baru, tidak mau terburu-buru mengambil keputusan hendak dibawa kemana hidup saya setelah ini. Saya sudah merasakan menjadi seorang pekerja kantoran, sekarang saya ingin belajar bagaimana menjadi seorang ibu rumah tangga.

Tulisan ini didekasikan untuk semua ibu di luar sana, bekerja atau tidak bekerja kalian ada lah seorang ibu dan itu pekerjaan yang mulia. 


Cheers,
Dhidie










No comments:

Post a Comment