Featured post

Thursday 29 July 2021

Home Sweet Home #NgobrolFinansial

 Beberapa drakor yang gue tonton akhir2 ini bercerita tentang rumah. Bagaimana seseorang berusaha begitu keras untuk akhirnya bisa memiliki rumah impian mereka. Bagaimana rumah menjadi sangat penting karena merupakan tempat kita berlindung. Kita bisa saja tidak membeli baju baru ataupun makan seadanya dan tetap merasa bahagia, selama kita memiliki rumah yang menjadi tempat kita berlindung. Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan setiap orang adalah, mau tinggal dimana? Ketika kita harus menuntut ilmu di kota lain, bekerja di suatu tempat bahkan berlibur, bahkan ketika kita baru menikah, pertanyaan yang pertama kali harus kita jawab adalah mau tinggal dimana?


Seperti yang sudah kita pelajari sejak di bangku sekolah dasar, kebutuhan utama manusia terdiri dari tiga yaitu sandang, pangan, dan papan. Rumah merupakan kebutuhan utama manusia, ya iya dong, kalau enggak dimana kita bisa tidur, kemana kita akan pulang setelah seharian bekerja, yang lebih penting di situasi pandemi ini, rumah bahkan menjadi satu persyaratan utama, Work From Home, Learning From Home, untuk saat ini “everything is doing from home” termasuk untuk melakukan isolasi mandiri di masa pandemi ini. 

Definisi rumah bagi setiap orang pun berbeda-beda. Ada yang berpendapat, rumah adalah tempat kita pulang setelah seharian bekerja di luar rumah. Ada yang berpikir yang penting dari rumah adalah dengan siapa kita tinggal di dalamnya, ada yang berpikir rumah itu harus di tengah kota, di pinggir kota yang penting dekat dengan orang tua. Bagi gue sendiri rumah adalah tempat dimana seharusnya gue bisa menjadi diri sendiri, bisa menghabiskan waktu bersantai, melakukan semua kegiatan yang gue sukai, bisa menangis, bisa menyendiri, dan bisa mengaturnya sesuai dengan keinginan gue dan membuat gue bahagia. Itu aja. 

Waktu kecil dulu, mungkin kita sudah membayangkan rumah impian kita akan seperti apa ketika kita sudah dewasa nanti. Satu tingkat? Dua tingkat? Ga apa2 kecil asal berhalaman luas atau mau tinggal di apartment aja, biar masih di tengah kota dan cenderung lebih simpel buat membersihkannya.  Dulu, rumah impian gue adalah di tepi pantai, seperti bed and breakfast di film Night at Rodante. Tapi kemudian, gue sempat juga pengen punya rumah di daerah yang tinggi biar udaranya dingin. Ketika sedang semangat2nya bekerja, gue merasa kok kayanya lebih baik tinggal di apartemen, praktis dan ga terlalu perintilan yang harus diurusi. Tapi yah, mungkin seiring bertambahnya usia, kebutuhan akan rumah ideal pun bisa berubah-ubah pada setiap orang. Sekarang yang terpikir adalah dimana gue akan menghabiskan masa tua gue nanti, rumah ideal seperti apa yang gue inginkan? 


Tapi sebenarnya, apa saja sih yang harus kita ketahui sebelum mewujudkan cita-cita untuk memiliki rumah impian itu, gue dapat ini dari beberapa referensi yang menurut gue memang ini seharusnya harus dipikirkan sebelum kita memiliki sebuah rumah, apa saja?


1. Pikirkan secara matang, apakah membeli sebuah rumah lebih baik daripada menyewanya. 


Membeli sebuah rumah adalah sebuah keputusan besar di dalam hidup. Banyak faktor yang harus dipikirkan, seperti biaya perawatan, mungkin pinjaman yang harus dicicil setiap bulannya, dan yang paling penting membeli sebuah rumah berarti sebuah komitmen, membeli rumah bukan seperti membeli baju yang bisa ditukar maksimal tujuh hari kalendar. Rumah yang sudah dibeli tidak bisa kita abaikan begitu di saat kita bosan atau tidak puas. Yah begitu. Mungkin untuk yang saat ini belum berkeluarga atau pasangan yang baru menikah, menyewa atau mengontrak rumah lebih masuk akal dibandingkan langsung membelinya, sampai sudah yakin tentang "komitmen" yang gue sebutkan tadi, bolehlah membeli rumah. Meskipun tentu saja, menunda pun tidak selalu baik, mengingat harga property yang pasti akan semakin tinggi setiap tahunnya. 


2. Menggunakan Real Estate Agent


Mencari rumah melalui agen properti akan jauh lebih praktis dibandingkan mencari sendiri.Karena mereka akan berusaha untuk mencarikan yang terbaik, dan yang pasti sudah memiliki list sesuai dengan spesifikasi dan lokasi yang kita inginkan. Tentu saja harus agen yang memiliki nama baik. 


3. There's No such A Perfect House

Mungkin kita punya spesifikasi tertentu tentang rumah impian, tapi tidak ada rumah yang sempurna, bahkan rumah yang dibangun sendiripun belum tentu sempurna pada akhirnya. Sebaiknya menetapkan hal-hal apa saja yang utama yang diinginkan dari rumah impian kita, tapi jangan membuat kita menjadi menunda dan tidak akan pernah menemukan rumah yang benar2 kita inginkan. 


4. Mengumpulkan Uang Muka

Sebaiknya sudah mulai menabung untuk uang muka, meskipun kita belum menemukan rumah yang cocok untuk kita. Menabung tidak pernah salah kan? Dan besarnya uang muka juga akan  sangat berpengaruh pada besar cicilan kita ke depannya. Semakin besar down payment semakin kecil cicilan atau semakin singkat masa cicilan kita. Intinya harus berhemat. 


5. Location, location, location

Lokasi yang tepat akan membuat perbedaan yang besar, rumah yang “jelek” di lokasi yang baik adalah lebih baik dibandingkan rumah yang “baik” di lokasi yang buruk. 

Apa saja yang harus dipertimbangkan dalam memilih lokasi: 

  1. Jarak ke tempat kerja, waktu tempuh yang diperlukan, misalnya jauh tapi dekat stasiun sehingga bisa ke tempat kerja dengan cepat. Bisa menghemat ongkos dan waktu juga. 
  2. Lingkungan yang aman, rasa aman bila harus keluar rumah di malam hari, atau apabila ketika kita terpaksa harus meninggalkan rumah dalam keadaan kosong adalah sangat penting. Lingkungan yang aman juga bisa merendahkan rate yang harus dibayar untuk asuransi property untuk kebutuhan KPR.
  3. Fasilitas Umum,  bukan cuma ke tempat kerja tapi juga ke fasilitas umum lainnya, seperti jalan tol, sekolah, rumah sakit, pasar, stasiun kereta api, dsb. Jarak dan waktu tempuh dalam mobilisasi akan membuat perbedaan yang besar. 


6. Size doesn't matter

Rumah yang besar berarti  biaya yang besar juga. Terkadang apa yang diperlukan oleh rumah besar dan rumah kecil sama saja, sisanya adalah lahan untuk menyimpan benda2 yang mungkin sudah tidak kita perlukan. Ukuran rumah yang ideal adalah yang baik untuk dua hal, bisa menerima tamu dan punya tempat penyimpanan untuk barang2 kita.


7. Minor Comestics

Kadangkala ketika mencari rumah kita kurang sreg dengan warna dindingnya, atau lantainya atau mungkin elemen fisik lainnya yang sebenarnya bisa dirubah dengan mudah bila kita sudah memiliki rumah tersebut. Jadi kalau melihat ada yang kurang cocok coba bayangkan apakah hal tersebut bisa dirubah dengan mudah, bayangkan juga dekorasi dan barang-barang milik kita yang kira-kira akan kita simpan di sana. 


8. Cari KPR yang terbaik

Shopping around beberapa bank untuk mencari kredit yang terbaik dan tidak memberatkan kita ke depannya. Dari sisi rate, downpayment, jangka waktu dan  kemudahan untuk melakukan perubahan tenor maupun besar cicilan, biaya2 admin yang lebih murah, dll. Pertimbangkan jangka waktu, jangan terlalu singkat dan jangan juga terlalu panjang. Kalau bisa mendapatkan masa bunga fix yang lebih panjang adalah lebih baik agar bisa memprediksi pengeluaran kita. 


10. Jangan lupa persentase hutang/cicilan yang tidak boleh lebih dari 35% income kita

Ingat persentase loan dibandingkan income. Jangan lupa untuk memperhitungkan hutang lainnya yang kita miliki seperti KTA dan kartu kredit.


11. Pikirkan lagi bila ingin melakukan renovasi sendiri. 

Biasanya karena rumah pertama jadi maunya semua dikerjakan sendiri, kalau tidak mempunyai keahlian dan pengalaman renovasi lebih baik menggunakan jasa renovasi karena biaya lebih jelas dan hasilnya lebih baik. 



12. Enjoy buying and settling into your new home  

Mungkin prosesnya menakutkan karena membeli rumah berarti komitmen, setelah Akad Jual Beli dilakukan, waktunya untuk pindah ke rumah baru. Tidak perlu terburu-buru untuk membeli furniture dan melakukan renovasi sana sini. Nikmati saja prosesnya, setelah tinggal di rumah baru, kamu akan lebih tahu sebenarnya apa saja yang kamu butuhkan untuk membuat rumah kita lebih nyaman.


Good luck, selamat mencari rumah impian yah....

Obrolan ini ada di igtv @ceritarasa127 episode rumah impian....


Cheers,

Dhidie



Home is the starting place of love, hope and dreams.”

“What I love most about my home is who I share it with.”


Thursday 22 July 2021

The Good Doctor #nulisbarengdhidie

 Karena udah lama ga ikut belajar nulis, akhirnya nyobain kelas gratisan via WA. Kok bisa ? Iya, karena gue penasaran juga gimana caranya bisa ada kelas nulis tapi via WA, dan ternyata... Yah cukup okelah... Untuk Challenge-nya, kita disuruh bikin tulisan maksimal 500 kata dengan setting rumah sakit dan temanya niat jahat... Tadinya mau skip aja males ngumpulin karena rasanya lagi ga ada ide dan ga pengen nulis aja, tapi akhirnya setelah konsenterasi, jadi juga mini cerpen dalam 15 menit yang mengalir gitu aja. Kebayakan nonton Drakor gue kayanya....


Silakan disimak....


Aku melangkah masuk ke ruang operasi. Seorang perawat dengan sigapnya memakaikan jas operasi ke tubuhku dan mengikatkannya. Mirip seorang chef yang bersiap untuk memasak menu makan siang di restoran. 


“Selamat siang, nama saya Dokter Dina, saya akan memimpin operasi hari ini.” Semua perawat dan dokter anestesi menganggukan kepalanya. Sebuah tubuh terbaring di atas meja operasi, tertutup kain, hanya kepalanya yang tidak terlindungi. Dalam kondisi pucat setelah dibiuspun, wajah itu masih sama cantiknya. Meskipun sekarang ada beberapa kerut yang terlihat nyata di dahi dan sisi kedua matanya, namun sisa kecantikannya masih lebih mendominasi wajahnya. 


Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Duduk di atas kursi operasi bersiap memulai operasi siang ini. Bersiap melakukan operasi pada sosok wanita di hadapanku. Wanita yang dulu membuat Ayah meninggalkan Ibu dan aku. 


“Scalpel?” Kataku sambil mengulurkan tanganku ke atas. Seorang perawat dengan sigap menyerahkan alat itu ke tanganku. 


Aku melihat dari kaca pembesar di hadapanku, adanya darah yang membeku di otaknya yang menjadi alasan dia dilarikan ke rumah sakit oleh anaknya ke tempatku bertugas karena mendadak terjatuh di kamar mandi. 


“Dokter Dina, tolong Mama saya yah?” Kata lelaki muda itu yang khusus menemuiku beberapa jam sebelum operasi dimulai. Aku hanya menganggukan kepalaku sambil tersenyum. Dia mirip sekali dengan Ayah ketika terakhir kali aku bertemu dengannya. Memang aku masih berumur sembilan tahun saat itu, tapi aku sudah mengerti pertengkaran berhari-hari antara Ayah dan Ibu yang terdengar sampai ke kamarku. Sampai akhirnya di suatu malam pintu depan berdebam keras dan Ibu menangis tersedu di depan pintu. Sejak malam itu aku tidak pernah melihat Ayah lagi secara langsung.  


Aku tahu kalau Ayah akhirnya menikah dengan Tante Dewi dan memiliki seorang anak laki-laki. Mereka bertiga hidup bahagia di sebuah rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan. Aku tahu kalau Ayah sebenarnya sudah berhubungan dengan Tante Dewi selama lima tahun sebelum Ayah akhirnya benar-benar meninggalkan aku dan Ibu. Aku tahu Ibu sangat sedih sepeninggal Ayah hingga akhirnya jatuh sakit dan kemudian tidak pernah kembali sehat sampai akhirnya pergi meninggalkanku juga. Perjalananku menjadi dokter bedah ini, sungguh perjalanan panjang yang akhirnya bisa kuwujudkan dengan menjual satu-satunya harta peninggalan Ibu, rumah Keluarga kami. 


“Dokter, kondisi pasien semakin menurun,” seru seorang perawat. Jeritan monitor-monitor di dalam ruang operasi terdengar bersahut-sahutan. Aku menghentikan gerakanku, sungguh mudah bagiku untuk menjadikan ini sebagai kecelakaan di meja operasi dengan alasan kondisi pasien yang sangat buruk. Alasan yang bisa diterima semua orang. Aku ingin lelaki muda tadi juga merasakan penderitaan yang sama seperti yang dulu kualami, kehilangan orang yang dicintai. 


“Dokter Dina,” panggil seorang perawat dengan wajah panik. Aku kembali ke dalam kesadaranku, naluri sebagai dokter menyadarkanku di saat yang tepat. Aku berusaha fokus kepada apa yang kulakukan, hingga akhirnya monitor-monitor seperti terkendali dan tenang kembali. 


Hari ini, aku, Dokter Dina, berhasil menyelamatkan nyawa seorang wanita yang telah merebut Ayah dari Aku dan Ibu. 



Cheers, Dhidie

Friday 2 July 2021

Pandemi - Karena Kita Hanya Mampu Bertahan

 Siapa yang menyangka kalau pandemi akan menjadi selama ini. Masih ingat banget gue kondisi di awal pandemi tahun 2020 lalu, kita masih bisa berencana, ga sabar nih nunggu tahun depan biar bisa ngumpul2 lagi, biar bisa ketemu lagi dan yang paling penting biar bisa liburan dan jalan2 lagi. Tapi apa yang terjadi satu tahun kemudian.

Pandemic stays... 




Bahkan sampai hari ini di bulan Juli 2021, this virus still exist and become stronger. Apa yang waktu itu kita sebut sebagai kondisi darurat, sekarang adalah bukan kondisi darurat lagi, tapi sudah menjadi kenyataan hidup yang harus kita hadapi setiap hari. Apa yang waktu dulu kita sebut sebagai new normal, sekarang sudah menjadi kondisi normal yang menjadi bagian kehidupan kita. Segala prokes, menurut gue sudah bukan prokes lagi, tapi sudah menjadi life style. Kalau boleh dibilang, masa lalu adalah masa lalu, dan yang kita hadapi sekarang adalah kenyataan yang sesungguhnya. 

Memakai masker, mencuci tangan, menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dan tentu saja menjaga jarak, sudah bukan peraturan yang perlu diberi denda apabila kita melanggarnya. Semua orang sudah menerapkannya secara otomatis tanpa banyak tanya, tanpa komentar dan sanggahan apalagi keberatan. Karena semua orang ingin menjaga dirinya dan tentu saja orang2 yang dicintainya. 

Kondisi WFH dan LFH dulu dianggap sementara saja, tapi sekarang semua patuh ketika peraturan berubah-ubah sesuai dengan kondisi, hal tersebut menjadi sangat wajar. Lebaran via zoom, larangan mudik, mal2 yang tutup lebih awal, last order di restoran jam 8 malam, online parents-teacher meeting, menjadi hal yang akhirnya bisa diterima. Swab Antigen, PCR, Vaksin menjadi kosa kata baru yang mendadak familiar di telinga. Saturasi, isoman, hazmat, positif, negatif, adalah kata-kata yang pasti kita dengar setiap hari. Berita duka terus menerus mengalir lewat group2 di ponsel. If we're not that strong enough, maybe we'll break up in tears every time we read these kind of messages...

"Bapak ini meninggal."

"Suami gue positif"

"Kakak ipar, adik, tetangga, teman sekolah...."

" Dokter ini meninggal, dokter itu positif, satu rumah sakit nakesnya positif"

This is a new world with different perspective of life. So far.

This condition is a new condition that we have to get used to. This is not temporary, we just have to get used to it. Dan beruntunglah kita sebagai manusia yang tidak pernah kehilangan akal untuk tetap bertahan dalam situasi apapun. 

Membatasi bertemu dengan orang yang tidak serumah, menjaga jarak, tidak keluar rumah bila memang bukan kondisi darurat adalah hal yang sangat mulia untuk dilakukan untuk saat ini. At least we care about other people for not being outside. Setidaknya kita masih punya hati nurani dan kesadaran yang tinggi untuk menjaga tubuh kita sendiri. 

Mungkin kita lupa bagaimana wajah teman2 kita, bagaimana suara mereka, bagaimana nyamannya memeluk dan mencium kedua orang tua kita, adik dan kakak kita, bagaimana serunya ngobrol di kafe dan nonton bioskop sambil makan popcorn. Tapi yang kita tidak boleh lupa adalah bagaimana menjaga pikiran kita untuk tetap positif dalam menghadapi kondisi yang sangat luar biasa ini.

Percaya saja, semua kejadian ada hikmahnya. Mungkin suatu saat nanti kita bisa tersenyum atau bahkan tertawa mengingat masa2 ini. Mungkin suatu saat kita bisa bercerita kepada cucu kita bagaimana kita akhirnya bisa bertahan melewati masa ini. 

Mindfullness.

Karena waktu sekarang adalah sesuatu yang harus kita syukuri saat ini.


Jangan lupa bahagia


Cheers, Dhidie