Featured post

Friday 29 May 2020

Boleh Nonton Drakor, Tapi Jangan Baper Dong!


Sejak kita semua lebih baik di rumah aja, kayanya hampir semua orang yang gue kenal punya kebiasaan baru. Ga cowok ga cewek semuanya nonton drakor.
Bahkan ada beberapa teman yang tadinya antipati jadi ikutan nonton juga.
Masih ingat ga zaman telenovela, kemudian jaman persinetronan ?
(iya, gue udah tua banget...)
Seperti itulah sekarang, ketika ikutan gemes pas kedua tokoh utama ga saling ngomong kalau sebenarnya suka, atau kesel banget sama seorang ayah yang tega banget sama anaknya. Kira-kira begitulah. Kalau ga pintar-pintar nontonnya kita bisa halu sendiri kebawa perasaan. Jadi baper, jadi bete sendiri, jadi emosi. 
Nah harus waspada yah kalau udah mulai kaya gitu berarti ada yang salah sama diri kita. 
Jangan tiba-tiba anak yang ga salah apa-apa kita marahin karena kita lagi kesel sama si cewek itu yang ga berhentinya jahat sama tokoh protagonis yang selalu teraniaya sepanjang episode. 
Salah satu definisi drama berdasarkan KBBI adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku/akting atau dialog yang dipentaskan. Jadi yah semua yang ada di drama itu yah cuma akting aja. Dan sudah pasti tujuannya untuk menghibur.
Kalau gue sih nonton drakor yang karena pengen terhibur, jadi gue rada pilih-pilih juga, kalau gue merasa dramanya akan bikin gue terseret dalam kesedihan atau pemikiran negatif, sebisa mungkin gue hindarin. Janganlah nonton hiburan yang malah biking depresi, ya kan ?
Gimana cara milihnya ? Biasanya kan sudah ada reviewnya secara global ceritanya tentang apa. Terus gue akan nonton episode pertamanya kalau cocok baru deh gue lanjutin. 
Ada tiga drakor yang gue tonton sampai selesai selama sebulan ini:

1. Weighlifting Fairy Kim Bok-Joo
Awalnya udah under estimate sama drakor ini karena pemainnya kayanya kok gue ga terlalu kenal dan apa yang menarik dari olah raga angkat besi. Tapi ternyata ceritanya menjadi menarik apabila atlit angkat besinya adalah seorang cewek. Masalah muncul ketika dia jatuh cinta sama seorang dokter yang bekerja di klinik penurunan berat badan. Konflik yang terjadi adalah si cewek harus menaikan berat badannya untuk bisa ikut serta di kategori berat badan tertentu sementara dia nekat mendaftar ke klinik tersebut agar bisa bertemu sang dokter. Penasaran kan ? Nonton aja.

2. Reply 1988
Ini rekomendasi dari seorang teman dan setelah bosan dengan drama yang drama banget nyaris tidak menapak ke bumi, nonton ini tuh kaya jadi fresh banget. Drama yang sangat membumi dengan background akhir tahun 80-an yang cukup otentik kalau menurut gue. Jadi nontonnya berasa nostalgia gitu. Masih inget zaman kaset ? zaman tonton bioskop ada batasan umur? telepon umum? Masa-masa berkirim surat dan janjian berkencan dengan mengandalkan telepon rumah ? Masa naksir orang tapi ga berani ngomong atau orang yang kita taksir ternyata suka sama orang lain ? Seri ini cukup panjang, 20 episode, tapi gue sedih banget pas gue udah selesai nontonnya, karena di setiap episode banyak banget moral story-nya yang bisa buat kita bersyukur. Btw Reply 1988 ini merupakan seri terakhir dari Reply seri, tapi katanya ini yang paling bagus. Dijamin ga nyesel nontonnya.

3. Eccentric! Chef Moon
Nonton ini karena tentang chef, ga tahu kenapa gue suka banget drakor yang ada masak-masaknya gitu. Tapi ternyata ga sesuai sama harapan gue sih, karena ceritanya ga fokus sama masaknya tapi sama konflik lain yang jauh lebih menarik. Dan sama Eric Mun yang udah lama banget ga muncul :) Masih ingat Another Miss Oh dan Discovery of Love kan? Nah akhirnya dia muncul lagi, lebih dewasa dan beda banget sih. Tapi tetap ganteng kok. Di sini dia jadi seorang chef yang kalem banget. Tokoh lainnya adalah seorang fashion desainer yang amnesia karena kecelakaan. Konflik yang terjadi tentang perebutan kekuasaan di sebuah perusahaan, salah satu tema favorit gue juga. Buat cowok bisa banget nonton karena masih ada sentuhan maskulinnya dan ga terlalu mengekspos kisah cinta si tokohnya. 

Udah sih gitu aja, semoga review ala kadarnya ini bisa bermanfaat nemenin selama di rumah aja. 


Cheers, Dhidie

Wednesday 13 May 2020

A Moment Before I Quit


Rasanya pertemuan mingguan kali ini berjalan sangat lambat. Mungkin sudah lebih dari empat kali aku melirik jam tangan perak di pergelangan tanganku dan sudah sejak tadi aku duduk gelisah di atas kursi ini. Keringat dingin mulai mengalir di belakang leherku, ketika kurasakan pertemuan sudah hampir mencapai akhir. Pria yang duduk tepat di hadapanku akhirnya menutup pertemuan hari ini dengan senyum khasnya. Seluruh peserta mengucapkan selamat sore dan berdiri untuk kemudian seperti berbaris meninggalkan ruangan pertemuan. Aku tidak beranjak dari dudukku sampai tersisa kami berdua di dalam ruangan itu. 



“ Pak, boleh saya minta waktunya sebentar ?” tanyaku sambil berdiri. Dia mengiyakan permintaanku, memberikan isyarat padaku untuk kembali duduk di tempatku. 
“ Ada yang bisa saya bantu ?” tanyanya dengan senyum di wajahnya. Bagaimana bisa aku melakukan ini kepada seorang pimpinan yang selama ini selalu mendukung kinerjaku. Mendadak terasa ada yang mengganjal di tenggorokanku. Aku mencoba menelan ludah beberapa kali untuk menghilangkan ganjalan itu. Setelah menarik nafas panjang akhirnya keluar juga kalimat itu. 
“ Pak, mohon maaf, mungkin ini waktunya tidak tepat, tapi tidak pernah akan ada waktu yang tepat untuk hal yang satu ini. Saya bermaksud untuk mengundurkan diri dari perusahaan.”
Ulasan senyum di wajahnya mendadak lenyap, raut di hadapanku seketika terlihat memucat. Aku tidak berani menatap matanya, menunduk memandang agenda di hadapanku yang menyimpan  sepucuk surat pengunduran diri yang sudah aku persiapkan sejak satu bulan yang lalu. 

Setelah kemarin, rasanya kehidupan kantor menjadi tidak seindah biasanya. Kalau kamu pernah merasakan patah hati, seperti itulah rasanya. Aku juga tidak menyangka kalau akibatnya akan separah ini. Seperti mendadak ada yang direnggut dari kehidupanku. Padahal keputusanku ini bukan keputusan yang kuambil dalam satu malam saja. Ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan sejak enam bulan yang lalu bahkan mungkin sudah muncul di kepalaku sejak tiga tahun yang lalu. Namun aku berusaha mengindahkan perasaan itu, meskipun langkah kakiku menuju kantor menjadi tidak seringan biasanya. Aku sadar bahawa harus bertahan dengan kondisi ini sampai dengan tiga bulan ke depan. Akhirnya aku bertekad, daripada menganggap tiga bulan ini sebagai akhir dunia, lebih baik bila aku menjadikan tiga bulan terakhir ini sebagai suatu kenangan indah yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Akupun mulai merubah pola berpikirku. Setiap pagi aku memulai hari dengan memilih baju yang paling aku sukai. Aku bahkan mengenakan baju-baju yang biasanya  hanya kukenakan di waktu-waktu spesial. Aku mulai mengulaskan sedikit riasan di wajahku. Aku menikmati kopi hitamku di kedai kopi favoritku setiap pagi dan melewatkan setiap jam makan siang dengan teman-teman kantorku. Aku merubah pola kerjaku, lebih berusaha bekerja sama dengan rekan kerja dari departemen lain yang biasanya menjadi lawan debatku. Layaknya seperti orang yang mengetahui tanggal kematiannya, aku mempersiapkan diriku untuk dikenang sebagai orang yang baik pada saat aku sudah meninggalkan tempat ini. 

Tanpa terasa akhirnya sampailah aku di hari terakhir aku bekerja di perusahaan ini. Rasanya aku ingin menikmati setiap detiknya. Entah berapa kali air mata membasahi pipiku. Semua teman-teman mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Akhirnya aku harus menerima pengunduran diriku sendiri dengan besar hati. Mungkin begini rasanya menjadi seorang pemimpin yang harus memberikan tongkat kepemimpinannya kepada penerusnya. Aku berusaha menghilangkan kecemasan tentang apa yang akan terjadi nanti setelah aku pergi. Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa inilah akhir dari perjalanan karirku di kantor ini. Aku mengusap meja kerjaku untuk terakhir kalinya, duduk berputar-putar di kursi seperti yang biasa kulakukan bila aku sedang mendapat masalah. Melemparkan pandangan ke luar jendela, melihat lampu kedai kopi yang masih menyala di bawah sana serta menikmati lampu mobil yang berbaris rapi di sepanjang jalan Jenderal Sudirman. Sudah tiba saatnya. 

Satu bulan selanjutnya kulewati  dengan rasa yang masih berada di antara mimpi dan kenyataan. Aku masih berusaha meyakinkan diri ini kalau ini adalah selamanya dan bukan sementara. Bahwa ini adalah sebuah awal yang baru, suatu permulaan untuk identitas baruku tanpa ada embel-embel korporasi yang sudah melekat padaku bertahun-tahun lamanya. Ternyata kecemasan itu tidak ada artinya, kelihatannya kantor berjalan seperti biasanya meskipun aku sudah tidak ada di sana. Aku harus bisa menerima bahwa tempatku sekarang adalah di rumah ini. Antara kamar tidur, dapur dan meja kerjaku. Tidak ada lagi kehidupan rumah dan kantor yang perlu diselaraskan lagi untuk saat ini. Seperti individu yang dilahirkan kembali, aku harus siap memulai semuanya dari nol lagi. Aku harus mencari identitas yang nantinya akan melekat pada diriku. Inilah waktunya untuk aku bisa menerima siapa sebenarnya aku. Untuk aku lebih mengenal keluargaku dengan lebih baik dan mengetahui siapa yang sebenarnya teman yang tetap tinggal setelah aku tidak memiliki jabatan sebagai aksesoris identitasku. Bukan hanya mendadak menjadi diri sendiri tapi juga aku mendadak menjadi sendirian. Meskipun terasa sepi tapi harus aku nikmati, karena sekarang waktunya untuk aktualisasi diri yang sejati. 

Hidup itu seperti roda yang berputar, posisi, jabatan, dan kekuasaan semuanya hanya bersifat sementara saja, Menjadi individu yang dikenang karena hal-hal baik akan menjadi lebih kekal dibandingkan dipandang karena posisi dan jabatan yang pernah dipegang. 


(Tulisan ini dibuat untuk tugas pelatihan menulis Komunitas Salihara - May 2020)