Featured post

Friday 27 August 2021

IRT tanpa ART, Ibu rumah tangga yang sesungguhnya?

Waktu baru resign tahun lalu, gue pernah bilang kalau gue akan memulai profesi baru gue sebagai ibu rumah tangga sesungguhnya. Gue mau belajar lagi gimana sih ngurus rumah yang sebenarnya. yang ga cuma beres2 dan masak pas weekend doang, tapi yah tiap hari. Tapi ternyata waktu itu gue terlalu naif, baru dua bulan ini gue ngerasa jadi ibu rumah tangga beneran, kenapa?

Yah, waktu itu kondisinya gue masih punya ART. Jadi yang gue lakukan sebagai pekerjaan rumah tangga adalah siapin sarapan setiap hari, masak dan baking sekali2, beres2 sekali2, termasuk decluttering barang2 yang kira2 gue udah gak butuh plus beres2 kamar2, lemari baju semua anggota keluarga yang selama ini gue gak pernah lakukan. Kalaupun ada bersih2, yah cuma bersih2 personal space gue aja. Selebihnya tetap ada ART yang ngerjain. Lalu gue ngapain dong? Nulis, Nonton drakor, nonton youtube, main games di ponsel, ngurusin tanaman, main2 sama kucing, yah pokoknya pekerjaan yang santai2 aja. 

Kemudian sekitar dua bulan yang lalu, gue dihadapin sama kenyataan bahwa situasi pandemi semakin memburuk, ART di rumah minta pulang kampung dulu karena mungkin dia ngerasa ga enak gak ngumpul sama keluarga. Ya udah, gue akhirnya memutuskan untuk ga cari ART dulu sementara. Dengan pertimbangan gue udah full di rumah, anak2 masih PJJ dan suaminya juga masih lebih sering WFH, dan gue pun masih gak kepikiran buat keluar rumah karena masih takut sama kondisi di luar sana. Kegiatan gue cuma terima pesanan kue dan IG Live Finansial gue yang semuanya gue memang lakukan di rumah. Jadi so far gak ada keharusan untuk keluar rumah juga. Akhirnya gue memantapkan diri untuk bisalah semua dilakukan tanpa asisten. 

Awal2 yah udah pasti jetlag-lah, gue kaya kenalan lagi sama rumah gue sendiri. Sejak gue pindah ke rumah ini sekitar 11 tahun yang lalu, gue memang gak pernah bener2 ada di rumah. Gue pulang kerja malam, pergi lagi pagi dan kalau weekend biasanya kita antara jalan2 keluar atau seharian di kamar. Kalaupun cuti pasti karena ada keperluan di luar rumah atau pergi keluar kota nengokin orang tua dan mertua atau liburan sama temen2. Jadi kebayangkan? Betapa gue tidak mengenal rumah gue sendiri. 

Memang perlu beberapa waktu untuk mulai kenalan sama rumah ini. Gue kenalan sama dapur gue sendiri. Kalau selama ini gue ngerasa kaya bertamu kalau masak di dapur gue sendiri, sekarang gue bahagia karena bisa menguasai dapur sendirian. Gue bisa nyoba2 resep masakan dan biar semangat coba2 resep itu gue jadiin bahan buat blog masak gue yang udah lama hiatus. Terus apa lagi? Nyuci, nyetrika gimana ? Yah gue cuma ngerjain laundry cuma 2 kali dalam seminggu dan ternyata gak makan terlalu banyak waktu juga, yah mungkin karena gak ada baju kantor dan seragam yang biasanya agak ribet prosesnya kan? Gue bisa nyalain mesin cuci sambil masak dan minta tolong anak2 buat bantu ngejemur. Dari aktivitas ini gue jadi tahu kalau ada baju2 yang udah layak buat dipensiunkan, ada sprei yang ternyata udah terlalu usang atau handuk yang baiknya dijadiin kain pel aja ...hahaha....

Kalau nyapu dan ngepel? Kita bagi tugas, satu anak nyapu, satu anak ngepel. Kalau nyapu halaman yah gue gak terlalu pusing, cukup seminggu sekali aja, karena biasanya cuma daun2 pohon kamboja aja yang berguguran. Anak2 juga bantuin ngurusin kucing yang 12 ekor itu termasuk ngurusin pasir kucingnya. 

Terus bersihin kamar mandi gimana? Masing2 bertanggung jawab dengan kamar mandinya sendiri2. Satu hal yang lucu adalah kita berempat punya kamar mandi sendiri2 dan untungnya jenisnya kamar mandi kering jadi lebih gampang bersihinnya. 

Yah intinya, gue kaya kenalan lagi sama rumah ini. Dan ternyata meskipun gue mulai jam tiga pagi, jam 9 pagi biasanya gue udah bisa santai2 dan melakukan kegiatan lain yang gue sukai. Banyak hal yang positif yang gue pelajari sih, kaya bikin sistem kerja dan jadwal supaya gue gak burn out ngerjain semua ini. Gue juga jadi bisa menata ulang barang2 gue supaya lebih ergonomis dan mempermudah semua orang dalam mencarinya. Bisa bungkus2 barang2 yang udah gak kepakai supaya gak jadi bikin berantakan dan jadi tahu barang apa yang memang harus diganti karena udah gak berfungsi. 

Katanya, perlu enam minggu untuk menyesuaikan diri dengan suatu kebiasaan baru. Selama situasinya kaya gini, yah masih bisa gue jalanin, tapi kalau setelah pandemi ini berakhir dan semua orang harus berkegiatan di luar rumah lagi, mungkin gue akan berpikir untuk punya ART lagi.

Cheers, Dhidie. 

Saturday 21 August 2021

Resolusi Financial #NgobrolFinansial

Gak kerasa banget yah kita sudah ada di pertengahan bulan kedelapan di tahun 2021. Rasanya baru kemarin gue membuka kalendar baru. Dan rasanya baru kemarin juga gue ngobrol tentang resolusi finansial di tahun 2021 ini. 

Hayo, sudah sampai dimana resolusi finansial kamu?

Apa sih sebenarnya resolusi finansial itu? 

Sebenarnya yah sama aja kaya resolusi yang biasa kita buat menjelang tahun baru. Seperti apa saja yang akan kita jalankan di tahun yang baru itu Resolusi tersebut bisa merupakan perubahan  kebiasaan, mencoba sesuatu yang baru atau mencapai tujuan tertentu yang kita tetapkan. 


Misalnya, ingin mencapai berat badan yang ideal, ingin mengurangi makan makanan berminyak, akan rajin berolahraga setiap hari, atau ingin melanjutkan kuliah S2, dan sebagainya.


Karena namanya juga resolusi finansial, tentu saja adalah resolusi yang berhubungan dengan keuangan atau kondisi finansial kita. 


Apa sih resolusi finansial gue kemarin untuk tahun 2021 ini?

1. Mau lebih berdisiplin dalam berinvestasi, minimal 500rb/bulan

2. Mau membatasi belanja kopi setiap minggunya, maksimal 100rb/minggu

3. Mau merubah aset non produktif menjadi aset produktif


Ketiga resolusi tersebut sesuai jenisnya ada yang berhubungan dengan mencoba hal yang baru, merubah kebiasaan dan menetapkan suatu tujuan finansial. 


Apalagi sih contoh resolusi finansial lainnya, berdasarkan pooling yang gue lakukan di instagram ada beberapa resolusi keuangan yang menarik, diantaranya:

  1. Membentuk dana darurat
  2. Ingin rajin berinvestasi
  3. Memenuhi tabungan haji
  4. Melunasi KPR
  5. Membeli Mobil tanpa menyicil
  6. Membuka usaha
  7. Rajin menabung
  8. Mendapat income tanpa harus bekerja (mungkin maksudnya pasif income kali yah? hehehe)



Berapa banyak kita harus menetapkan resolusi finansial?

Bisa satu atau dua, tapi sebaiknya tidak lebih dari tiga. Karena kemungkinan untuk mencapainya menjadi lebih sedikit dan biasanya kita menjadi malas untuk mencapainya. 


Bagaimana Cara membuat resolusi finansial yang baik?


Menuliskan resolusi tersebut, sehingga ada ruang untuk kita mereview atau mengingat kembali

Gue biasanya menuliskannya di buku jurnal gue, kalau kamu ga punya buku jurnal bisa tulis di ponsel atau mungkin di kalender di atas meja kerja kamu. Jadi setiap waktu kamu bisa membukanya dan mengingatnya kembali. 


Alangkah baiknya apabila resolusi tersebut memiliki suatu nilai yang bisa diukur. 

Suatu resolusi sebaiknya bisa diukur untuk mempermudah kita dalam mencapainya. Misalnya saya ingin tabungan saya bertambah sebesar dua puluh juta tahun ini, atau saya ingin berinvestasi 500rb per bulan.


Menetapkan deadline

Setiap resolusi pasti memiliki deadline yang berbeda, kalaupun memerlukan waktu yang lebih panjang dari satu tahun, tetapkan saja untuk tahun ini batas apa yang kita harapkan bisa terwujud. Sehingga kita lebih mudah untuk men-set target kita.


Lakukan hal yang sederhana terlebih dahulu

Sebaiknya menjadi kebiasaan agar lebih mudah untuk dicapai. Do the baby step not a giant leap. Seperti resolusi gue untuk mengurangi jajan kopi setiap minggunya. 


Harus masuk akal

Jangan membuat resolusi yang tidak masuk akal dan tidak mungkin diwujudkan. Misalnya ingin memiliki dana darurat sebesar dua belas kali pengeluaran per bulan, kalau misalnya kita hanya bisa menyisihkan dana sebesar sepuluh persen dari pendapatan bulanan karena masih ada cicilan yang harus dibayarkan tentu saja hal tersebut menjadi agak susah dicapai kan?


Menyusun langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mencapai resolusi tersebut. 

Yah, harus pakai perencanaan yang baik, kalau misalnya kamu ingin tahun ini kamu bisa membeli mobil baru tanpa menyicil, hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dulu mobil apa yang akan dibeli, berapa jumlah tabungan yang dimiliki, berapa banyak kekurangannya, bagaimana bisa menutupi kekurangan tersebut. Apakah kamu harus hidup lebih hemat? Apakah kamu harus membawa bekal dari rumah? Atau harus menggunakan transportasi umum ke kantor? Atau mungkin mengurangi beberapa pos pengeluaran dalam anggaran bulanan kamu.


Luangkan waktu untuk mereview, set ulang resolusi.

Sebaiknya resolusi yang sudah kamu tetapkan di awal di review kembali, bisa tiga bulanan, atau enam bulan. Gunanya apa? Yah supaya kamu bisa mengetahui pencapaian kamu sudah sampai mana, atau mungkin merubah strategi dalam mencapai resolusi tersebut. Misalnya, untuk kamu terpaksa tidak jadi membeli mobil secara tunai, karena uang tabungannya kamu pikir lebih baik untuk digunakan renovasi rumah supaya bekerja dari rumahnya menjadi lebih nyaman. 


Gitu deh, kalau tahun ini kamu belum menetapkan resolusi finansial, mungkin kamu bisa mulai memikirkan resolusi finansial apa untuk tahun depan. Mumpung masih ada empat bulan lagi.


Selamat beresolusi...




Thursday 12 August 2021

My Socmed Detox Experience - Part 2

 Waktu tahun 2018 gue pernah melakukan detoks sosial media. Waktu itu gue bener2 ga terhubung sama instagram dan faceboook, dua account yang gue bener2 ga bisa abaikan pada saat itu. Pada waktu itu gue merasa kaya gue ga bisa berhenti aja untuk mengeksplorasi kedua sosial media itu dan gue merasa gue ada di titik kecanduan. Kalau di tahun 2018 gue melakukannya selama satu minggu, di tahun 2021 ini gue melakukannya selama 5 hari aja. Tulisan gue di tahun 2018 itu bisa dibaca di sini https://mytravelogid.blogspot.com/2018/09/my-socmed-detox-experience.html

Lalu untuk tahun 2021 ini apa motivasi gue buat melakukan detoks? Sebenarnya gue rasa semua orang juga merasakan apa yang gue rasakan. Di tahun ini, pandemi yang kita harapkan sudah usai malah menambah variannya. Kita terpaksa harus terkurung lagi ditambah dengan PPKM yang terus menerus direview dan diperpanjang. Seperti masuk ke dalam suatu terowongan yang kita tidak tahu dimana terowongan ini akan berakhir. 

Akhirnya apa yang dilakukan di rumah selain menonton drakor. Tentu saja browsing media sosial menjadi alternatif hiburan. Jujurnya karena gue sudah bosan memantau berita2 angka pertumbuhan Covid yang waktu tahun 2020 masih rajin gue ikuti. Akhirnya gue rajin buka instagram, facebook atau group Whatsapp. Dan ketika memasuki masa dimana berita duka bukan tentang orang yang gue tidak kenal, tapi juga berasal dari orang yang gue kenal dan lingkungan terdekat gue, gue merasa overwhelmed dengan semua berita itu.

Rasanya setiap kali membuka Facebook ada aja berita duka, belum melihat instastory teman2 yang kehilangan orang2 tersayangnya atau harus berjuang melawan virus. Di group Whatsapp kabar yang muncul hampir semua berita duka cita. Dan gue merasa akhirnya terlalu terpengaruh sehingga yang ada di pikiran gue adalah "giliran gue kapan?"

Karena gue merasa berita2 tersebut sudah terlalu mempengaruhi pikiran gue, akhirnya gue memutuskan untuk menghilang sementara dari jagad virtual. Selama lima hari gue tidak membuka instagram, facebook maupun whatsapp gue. Yah, kali ini gue tidak membuka whatsapp juga sama sekali, karena selain gue udah ga ngantor, kalau memang penting pasti orang yang perlu akan menelpon minimal miss call di ponsel gue. Dan gue juga sedikit merelakan kalau gue harus kehilangan order kue karena ga baca whatsapp.

Apa yang gue lakukan dengan ponsel gue? Gue tetap membuat video dan mengambil gambar masakan2 dan kue2 yang gue buat tapi bedanya tidak ada yang gue share di media sosial. Gue sengaja memilih waktu menjelang weekend dimana gue tidak perlu ketinggalan informasi dari group sekolah anak gue. Ponsel benar2 hanya digunakan untuk nonton Youtube dan mendengarkan musik. 

Lalu apa yang terjadi? Bagaimana efeknya setelah itu? Apakah ada yang berbeda? Tentu saja. Gue jauh merasa lebih tenang. Gue merasa lebih fokus dalam melakukan sesuatu. Gue tidak merasakan khawatir yang berlebihan. Gue tidak merasakan kesedihan yang berlebihan juga yang membuat gue merasa tidak bersemangat melakukan sesuatu. Gue merasa lega. 

Akhirnya ketika gue mulai mengakses medsos gue lagi, gue merasa tidak setergantung itu lagi dengan medsos. Gue membatasi jam2 dimana gue memang harus membuka medsos karena gue masih perlu itu untuk marketing dan untuk IG live finansial mingguan gue tapi yah cuma sebatas itu aja.

Bukan berarti ini gue tidak peduli dengan kesedihan dan kesusahan orang lain. Tapi kalau versi gue, too much information can kill you. Dan gue cuma ingin menjaga kewarasan gue aja. Ada waktu2 dimana gue tetap merespon chatting dan kasih komentar2 di ig story temen2 gue. Yah cuma gue membatasi aja berapa lama gue akan berinteraksi setiap harinya dan gue bisa mengalihkan fokus gue ke hal lain. 

Stay safe, stay happy and healthy. Doa yang sama, semoga pandemi ini segera berlalu...


Cheers, Dhidie




Sunday 1 August 2021

Happy BakingVersary!! From Banker to Baker Journey

 Tahun lalu, waktu ditanya kenapa mau resign ? Gue jawabnya, mau jadi youtuber. Karena waktu itu gue lagi seneng banget nonton vlog2 masak Korea yang kayanya calming banget. Gue juga suka nonton tutorial masak di Youtube dan FYI acara TV favorit gue jaman dulu adalah Aroma di Indosiar dan Acaranya Rudy Chaerudin yang gue udah lupa namanya. Jadinya kayanya kok seru aja bisa bikin acara masak-memasak sendiri sesuka hati gue di Youtube. Meskipun beberapa orang kaya ketawa dan gak percaya gitu. Yah gimana mau percaya, alasan itu memang seperti alasan yang terlalu dibuat2 dan ga masuk akal kan?



Dan apa yang terjadi setelah gue resign kemudian harus melewati masa ga boleh kemana2 karena pandemi. Padahal tadinya yang ada di kepala gue adalah enak nih gue jadi punya banyak waktu buat cafe hopping sekalian nulis di cafe2, gue juga bisa liburan suka2 tanpa ngambil cuti. Pandemi menghilangkan mimpi gue. Gue harus stuck di rumah dengan segala ke-desperate-an gue yang kehilangan rutinitas dan perasaan gak berguna. Yah waktu itu satu2nya yang gue senang lakukan bisa nyobain resep di rumah sekalian buat cemilan buat keluarga. 

Sampai suatu hari, gue bikin brownies dan gue ngerasa happy banget karena di-appreciate sama satu rumah. Gue udah lupa rasanya masak dan bisa bikin orang lain happy.  Gue merasa fullfill karena ternyata gue bisa bermanfaat untuk orang lain dengan cara yang lain. Akhirnya gue mulai makin rajin bikin kue buat cemilan yang lagi ngantor dan bersekolah jarak jauh. Ketagihan... Sampe akhirnya gue mencoba bikin roti, hal yang gak pernah gue pikirkan sebelumnya. Karena gue bukan pencinta roti. Gagal, coba lagi, dan gitu terus. Dan bukan masalah gagal atau suksesnya, tapi masalah prosesnya yang ternyata relaxing dan therapeutic banget yang efeknya ternyata sama kaya kalau gue nulis. 

This feel really good..... Ketika elo berkutat dengan timbangan, tepung, ngulenin adonan, shaping adonan sampai akhirnya harum roti yang dipanggang seakan memenuhi seluruh ruangan di rumah elo, it feels really nice. Akhirnya gue ga cuma bikin roti buat keluarga gue, tapi gue juga bikin roti sebagai buah tangan buat orang2 terdekat gue...

Terus sampai suatu hari ada yang mesen roti gue, which is ade ipar gue sendiri, buat ultahnya yang waktu itu masih hampir satu bulan lagi. Gue yang kaya, hahhh, emangnya gue udah pantes yah untuk ngasih harga roti gue bikin? Gue inget waktu itu gue langsung nge-chat temen gue yang seneng baking juga dan jebolan dari bank yang sama. "Eh, masa ada yang mesen roti gue lho, kita jualan aja yuk?" Waktu itu gue tahu, dia sering banget posting bikin kue yang kelihatan menggiurkan banget kalau di instagram. Tapi waktu itu dia bilang kayanya dia belum pede buat jual hasil karyanya dan dia bilang, "Gue kayanya belum bisa berkomitmen deh, tapi gue mau beli dong roti bikinan elo?" Dan jadilah dia customer pertama gue dan satu orang lagi adalah sahabat gue yang langsung mengiyakan ketika gue nawarin roti bikinan gue. Thanks to the three of you....

And it just happened. Gue akhirnya menentukan nama apa yang mau gue pakai. Gue pakai aplikasi seadanya untuk bikin logo, gue pilih warna hijau karena itu warna favorit gue dan gue kirim via email ke percetakan langganan gue. Dan ternyata ga sesederhana itu, gue juga harus mikirin packaging yang kaya gimana yang harus gue pilih. Prinsipnya gue cuma ga mau pake kotak plastik untuk packing karena gue juga sebel banget sama kotak2 plastik yang gue dapet bekas pembungkus makanan yang pada akhirnya cuma menuh2in gudang gue, plus gue masih trauma karena gue pernah lihat video lautan yang dipenuhi sampah plastik yang akhirnya dimakan sama ikan2 dan bikin mereka keracunan, that's so sad. Akhirnya, meskipun gue masih pakai kantong plastik untuk bungkus, well yeah, karena plastik daur ulang yang masih mahal harganya, at least cuma itu, gue pake kraft box buat pembungkus makanan gue. Dan sampai sekarang pun gue masih menghindari bikin makanan yang memang harus dipacking pake plastik kaya dessert box gitu. Murni, karena gue ga pengen jadi penyumbang sampah plastik di bumi ini. Gue usahakan produk gue pake bahan yang terbuat dari karton, kaca atau kalaupun harus dari toples minimal toplesnya masih bisa dipergunakan kembali sebagai pot atau apapun itu. Eh, jadi kepanjangan yah ceritanya, ginilah akibat waktu SMA ikutan kegiatan green peace:)

Balik lagi sama cerita gue. Yah, ternyata jualan makanan itu ga segampang apa yang gue pikirin, apalagi kalau semuanya dikerjain sendiri. Ga cuma promosi aja gue jualan apa, tapi juga harus itung costnya, harus aware juga sama harga market di luar sana. Harus bisa milih supplier, bukan cuma yang harganya paling masuk akal, tapi juga yang delivery lebih cepat dan ongkirnya paling murah. Dulu, gue bisa pesen box sampai ke Surabaya tapi setelah gue menemukan supplier di Jakarta yang agak sedikit lebih mahal tapi bisa dikirim di hari yang sama, gue akhirnya beralih kesana. Gue juga harus bisa mengatur stok inventory gue biar selalu ready kalau ada pesanan tapi ga berlebihan supaya stok gue ga menjadi expired dan berakhir jadi waste yang mubazir, gue juga akhirnya menemukan aplikasi yang cocok untuk bikin invoice sekaligus mencatat sales gue. Yah sebenarnya gue belajar dari melakukan semua itu selama setahun ini. 

Dan ketika gue merasa gue sudah menguasai semua itu, pasti ada aja sesuatu yang baru yang bikin gue ga berhenti belajar. Kejadian2 yang terjadi kaya gimana kalau tiba2 dapat pesanan yang banyak banget dalam satu hari padahal equipment gue minim banget dan gue ngerjain semuanya sendiri, atau ketika tiba2 kardus gue habis, belum lagi tiba2 si abang delivery ga berhasil mengantarkan paket dengan selamat, intinya selalu ada resiko dan kekhawatiran akan semua yang aktivitas yang kita lakukan dimanapun, kapan pun, sebagai apa pun. Dan cara kita belajar buat menanganinya yah cuma dengan cara mencari solusinya sekreatif mungkin. 

Tapi sebenarnya, inti dari semua ini adalah komitmen. Karena ada waktu-waktu dimana elo lagi eneg banget lihat oven, tangan lo lagi sakit banget karena over-used buat ngaduk adonan, atau keinginan cuma pengen tidur dan nonton drakor aja seharian, tapi ga bisa elo lakukan karena elo udah commit sama apa yang elo udah mulai. Dan gue selalu berprinsip ga mau menolak pesanan, karena kesannya kaya nolak rezeki yang Allah udah kasih sama kita. Gue akan selalu bilang iya dan bisa untuk semua pesanan saat ini, meskipun mungkin untuk item yang belum ada di menu gue. 

Dan ga berhenti di situ aja, otak juga kaya ga berhenti berpikir, gue harus bikin apa lagi ketika market udah jenuh sama apa yang gue bikin. Kaya mau udahan ajalah pas lagi ga ada yang pesen, cuma pas gue inget ini baru setahun gue kerjain kok kaya cengeng banget yah, padahal dulu juga pas lagi ngantor gue juga harus melakukan hal yang sama berulang-ulang sampai akhirnya bisa mencapai posisi terakhir kemarin. 

Then, what's next? Yah jalanin dulu aja, nyoba resep2 baru untuk nambah skill gue di bidang ini. Gue juga berpikir untuk sekolah pastry atau apapun itu karena gue merasa otodidak bisa dilakukan tapi gue juga harus tahu ilmunya. Kalau nantinya bisa punya toko roti sendiri, yah Alhamdulillah, apalagi kalau bisa bikin lapangan pekerjaan untuk orang lain. Gitu deh...

So, satu tahun sudah berlalu. Gue ga pernah merasa sebersyukur ini... Ternyata ini yang namanya takdir, dan kamu ga pernah tahu, kemana takdir akan membawamu. 

Dan di satu tahun ini tentu saja gue bersyukur banget karena punya temen, sodara dan kenalan lainnya yang udah percaya dan ga bosen2 pesen dari gue. That means a lot, karena terus terang ngebantu gue untuk improvement process dan bikin semangat untuk nambah menu2 baru yang bisa gue tawarkan. Kalau ada yang nanya enakan kerja atau bikin kue? atau sebulan omzetnya berapa? Yah tentu saja jawabannya enakan kerja, setiap bulan udah pasti dapatnya berapa. Kalau buat omzet, yah cukuplah buat ngopi2 cantik. But that's not the point. Intinya adalah gue melakukan apa yang gue suka dan gue mencoba sesuatu yang baru yang ternyata ada nilainya dan orang mau bayar untuk apa yang gue bikin. 

Yah satu tahun ini gue anggap pelajaran berharga aja yang ga bisa dikonversi dengan rupiah. Setuju ga?

If you happened to read this blog, please follow our instagram at @cheersdhidie. Hahaha, sorry for hard selling yah, namanya juga usaha...ya enggak?


Happy BakingVersary to Me..


Cheers, Dhidie....