Mungkin karena gue merasa kehilangan banyak momen dengan anak bungsu gue, gue akhirnya seperti pengen mengejar semua ketinggalan gue selama ini.
Ga semua orang bisa mengerti apa yang gue rasakan. Waktu anak pertama, gue hamil dan masih bareng dia sampai umur delapan bulan. Setelah itu pun ketika mulai bekerja, gue masih bolak balik ke rumah untuk nyusuin dia di waktu istirahat sampai umurnya genap dua tahun. Kemudian gue full ngurusin dia karena break dari kerja sampai umurnya tiga tahun baru mulai gue tinggal kerja lagi. Full time di tempat yang lumayan jauh waktu itu.
Sementara buat anak kedua ini, dari sejak hamil dia sampai kemarin di umur dia yang ke empat belas, gue full ga ada di samping dia. Jadi bisa dibilang selama empat belas tahun gue ga ada di samping dia. Padahal dia anak bungsu yang meskipun gue deket banget sama dia, tapi gue ga pernah punya kesempatan buat ngurusin dia full setiap harinya.
Alhamdulillah tapi gue akhirnya dikasih kesempatan buat total ada buat dia di masa remajanya. Meskipun dia suka bilang," It's too late, mommy." But," It's okay, gue bersyukur banget bisa punya banyak momen bareng dia. Seenggaknya gue ada ketika dia harus full sekolah di rumah karena pandemi. Gue ada ketika dia harus masuk ke SMA baru yang hampir ga ada teman dari SMP yang lama, dan gue ada bahkan mungkin terlalu ada karena full jadi korlas di masa SMAnya. Gue tahu dia juga bahagia.
Momen ketika gue harus antar jemput dia karena dia harus bawa2 tongkat ke sekolah, momen ketika gue harus menguatkan dia karena jarak ke sekolah yang baru perlu tenaga lebih dan niat yang kuat karena dia harus berkendaraan umum hampir setiap hari. Tapi dia ga pernah sekali pun mengeluh. Karena dia suka sekolah.. hahaha...
Gue masih ingat ketika awal2 gue jemput gue tungguin di Mc D, sampai akhirnya dia bilang, ga usah ditungguin karena dia bisa pulang sendiri. Gue seneng karena dia tanpa diminta mau ikutan jadi pengurus OSIS di sekolah. Gue seneng karena gue ada ketika harus menelan kekecewaannya karena ga bisa jadi pengurus OSIS di bidang yang dia pengen. Tapi akhirnya dia malah jadi Ketua Divisi Bidang Rohani yang akhirnya mengantarkan dia untuk selalu jadi Imam dan pembaca doa di acara2 sekolah. Bahkan dia akhir sekolah dia dapat penghargaan karena sekolah mengapresiasi keaktifannya di bidang itu. Gue rela ikut capek2an dan bergaul dengan ibu2 dan berujung punya teman2 baru yang super baik. Gue seneng karena bisa ngobrol tentang sekolah dan teman2nya, bahkan gue senang bisa kenal baik dengan guru matematikannya karena dia selalu disuruh ikutan lomba matematika meskipun belum bisa jadi juara. Tapi gue seneng bisa ada di keseharian dia.
Kelas sepuluh gue biarin dia berteman dan mengeksplorasi dunia remajanya setelah selama SMP terkurung di rumah. Tapi di kelas sebelas di sela kesibukan OSISnya, gue akhirnya daftarin dia ke bimbingan belajar, demi menyeimbangkan pelajaran dan kehidupan sosialnya. Alhamdulillah gue punya anak yang mau mengikuti kata orang tuanya. Hampir ga pernah bolos bimbel, tapi gue juga happy dia punya banyak teman yang masih rajin nongkrong di Blok M, nonton konser, main mini soccer dan baik banget ngajakin nonton bola. Bikin gue ga terlalu khawatir dia terlalu belajar atau dia terlalu bergaul. Karena semuanya gue lihat begitu seimbang.
Setelah si anak pertama lulus dari Fakultas Psikologi UI, ga tau kenapa gue pengen banget punya anak dokter. Sebenarnya lebih ke gue membantu dia untuk memilihkan masa depannya. Dan gue lihat dia mampu dan dia juga ada di lingkungan sepupu2 yang hampir semuanya dokter dan jangan lupa dia juga cucu dokter. Yang gue lihat juga gue pengen anak2 gue bisa berdampak langsung dan bermanfaat langsung untuk masyarakat. Impian banget untuk punya pekerjaan yang bisa membantu orang. Seperti mencari pahala sambil mencari nafkah. Too good to be true kan? Gue tahu jalannya akan susah, gue tahu ini gak akan mudah, tapi dengan segala karakternya yang keras tapi lembut, yang cerdas, mau belajar, gue yakin dia akan menjadi dokter yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Akhirnya kita fokus untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Fakultas Kedokteran yang kita tuju ada dua UI dan UPN, dua2nya negeri. Gue tahu ini gak akan mudah, tapi gue percaya kalau dia bisa. Bukan gue ga mengizinkan untuk kuliah di luar kota. Tapi gue berpikir kalau kuliah kedokteran itu gak ada, dan akan lebih gampang kalau dia tidak perlu beradaptasi dengan kota dan lingkungan yang baru jadi bisa lebih fokus belajar.
Tentu saja pilihan pertama adalah Fakultas Kedokteran tertua di Indonesia dan pilihan kedua adalah kampus yang lokasi dekat dengan rumah. Gue sampai ajak dia untuk tur kampus membandingkan kedua Fakultas Kedokteran yang dua2nya bisa dicapai dengan mudah dari rumah. Akhirnya kita deal dengan dua Universitas itu dan dengan back up beberapa kampus untuk jalur mandiri dan satu kampus swasta yang gue tahu untuk Fakultas Kedokteran biayanya tidak murah. Tapi, Bismillah.
Perjuangan pertama dimulai, dia eligible untuk bisa mengikuti program SNBP dari sekolah. Pilihan hanya satu FK UI, mengingat tidak bisa mundur apabila diterima di kampus lain dan tujuan utamanya adalah kampus itu. Pengumunan di bulan Maret, anda belum beruntung, gue tahu dia kecewa tapi setelah belakangan kalau kursi yang tersedia jumlahnya hanya belasan saja, yah... make sense. Dimulailah perjuangan panjang berikutnya, bimbel tiada henti, bahkan menjelang SNBT dia ikut lima bimbel secara paralel, kok gue ga melihat ada kelelahan, dia masih tersenyum, masih bercanda, masih main minsoc, masih hang out sama teman2nya. Tapi gue tahu dia belajar sangat keras. Kadang2 gue yang cemas, is it too much? Tapi gue tahu kalau daya tahannya setelah pengalaman OSIS kemarin yang kelihatannya sangat melelahkan, dia pasti. Dan dia kelihatannya masih pergi bimbel dengan senang tanpa sedikitpun pernah mengeluh. Dan sampailah pada hari yang ditunggu, Senin 28 April 2025, ujian SNBT di kampus UPN, sepanjang ujian gue di rumah ga berhenti sholat dan berdoa, mohon untuk dimudahkan dan dipilihkan yang memang paling baik untuknya.
Satu bulan menuju pengumuman sungguh penantian yang sangat panjang. Dia akhirnya mempersiapkan diri lagi untuk mengikuti seleksi PPKB. Mulai membuat esai dan mengurus pendaftaran di sekolah. Sampai akhirnya tiba di hari pengumuman. Bulan Mei sungguh menjadi bulan terpanjang dalam hidup gue. Dan 28 Mei 2025, jam 3 sore. Dia berpesan," Mami, saya mau lihat pengumumannya sendiri yah?" Oke, gue mengiyakan. Selepas shalat Subuh gue masih bertanya." Gimana, masih yakin masuk SNBT?" Dia kelihatan mulai ragu," Bahkan UPN aja kayanya kok ragu yah?" katanya. Jam 3 sore, deg2an. Gue berusah cuek dengan nonton Drakor, tapi gak bisa. Akhirnya Adzan Ashar, gue memutuskan untuk shalat dulu daripada cemas karena tak ada kabar. Ketika selesai shalat, di ujung sujud gue berdoa, Ya Allah apapun yang terbaik untuk anakku, aku berserah kepada takdirmu. Izinkan untuk dia tidak kecewa lagi." Begitu selesai shalat ada langkah kaki dan ketukan di pintu kamar. Rasa takut dia kecewa lebih besar meskipun ada keyakinan kalau dia akan lulus. " Mami, diterima FK UPN." Mungkin ini air mata yang kesekian kalinya. Di perjalanan tiga tahun ini, ini adalah akhir yang bahagia. Alhamdulillah, Allah pilihkan yang memang paling baik untuknya di saat ini. Kami berdua sujud syukur, langsung memberikan berita gembira kepada kakek nenek yang juga menantikan berita dari cucunya. Sungguh bisa menjadi salah satu dari 250rb orang yang lolos dari 860rb peserta adalah suatu hal yang membanggakan.
Tapi, ternyata perjalanan belum selesai sampai di situ. Karena masih ada PPKB yang ditunggu hasilnya dan tidak boleh diabaikan bila lolos. Namun mengingat jumlah yang akan diterima hanya 15 orang dari 1100 peserta, sepertinya gue harus bernegosiasi lagi. Berbagai alasan kami sampaikan kenapa dia harus mendaftar ulang di PTN yang sudah meluluskannya. Baru kali ini gue melihat dia yang begitu rapuh namun keras tapi yah mungkin karena masih ada rasa kecewa di hatinya. Akhirnya kami membiarkannya untuk berpikir dulu sampai pada kesimpulan, okay, kita akan daftar ulang H-1 pengumuman PPKB. Ternyata rasa cemas gue tidak berakhir begitu saja. Sesuai perkiraan ketatnya seleksi dan kami tahu banyak faktor yang akan berpengaruh di seleksi itu, akhirnya FK UPN tetap menjadi tujuan kami.
Apakah semuanya sudah selesai sampai di sini? Tentu saja tidak, karena masih ada ujian mandiri lain yang kami sesungguhnya tahu kalau ini sama beratnya dengan PPKB, tapi untuk mengakhiri semuanya dan demi mengiklaskan akhirnya diikuti juga. Sampai akhirnya pengumuman tanggal 8 Juli kemarin yang semakin menguatkan kalau rencana Allah lebih baik dibandingkan rencana manusia. Resmi dia menjadi mahasiswa di FK UPN veteran Jakarta.
Alhamdulillah, selamat menikmati dunia kuliah, anakku. Tuntutlah ilmu sebaik2nya, jadilah bermanfaat untuk orang lain.
Cheers, Dhidie